Sabtu, 13 Juni 2020

Ormawa Febi UIN Alauddin Makassar Adakan Panggung Bebas Ekspresi.


Ormawa Febi UIN Alauddin Makassar Adakan Panggung Bebas Ekspresi.

ORMAWA FEBI UIN Alauddin Makassar Adakan Panggung Bebas Ekspresi.


Organisasi Kemahasiswa (Ormawa) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam menggelar panggung bebas ekspresi di depan kampus 2 UIN Alauddin Makassar. Jumat,  (12/06/20).

Panggung bebas ekspresi ini merupakan bagian dari kegiatan untuk menggalang solidaritas mahasiswa dalam memperjuangkan haknya selama pendemi Covid-19, misalnya tuntutan untuk memberikan pemotongan atau relaksasi pembayaran UKT semester depan. Mengingat sampai hari ini, belum ada kebijakan yang dikeluarkan dari birokrasi kampus dalam hal pembayaran UKT semester depan.

Hal ini tentunya juga menjadi wadah bagi mahasiswa untuk menyampaikan berbagai keresahan, aspirasi dan tuntutan mereka. Beberapa kegiatan yang ditampilkan oleh mahasiswa di acara panggung bebas ekspresi ini seperti puisi, menyanyi dan pemutaran film dokumenter.

Ketua HMJ Akuntansi, Andri Pranoto, menyampaikan harapannya agar mahasiswa tetap menjaga semangat perjuangan dan kepekaannya dalam melihat persoalan-persoalan yang terjadi di kampus UINAM.

"Di tengah kondisi yang serba terbatas, mahasiswa harus tetap peka dan tidak apatis. Seperti yang kita ketahui belum ada kebijakan pimpinan kampus UINAM untuk mengurangi beban orang tua mahasiswa dalam hal pembayaran UKT semester depan". Harapnya.

Lebih lanjut, Andri menyerukan untuk tetap bersolidaritas mengawal tuntutan dan keresahan mahasiswa.

"Ini adalah keresahan kita bersama, oleh karena itu mari rapatkan barisan comrades!". Tutup, Andri.

Sabtu, 06 Juni 2020

RASISME


RASISME;  Putih Ajaib, Hitam Eksotis.

Sahrul Ramadan - Akuntansi 017


Setiap warna memiliki makna, baik itu dalam lingkup keagamaan, sosial, dan budaya. Warna dapat kita artikan sebagai sesuatu yang dapat mempengaruhi kelakuan ataupaun segala luapan emosi seseorang.

Dalam konteks keagamaan warna seringkali diaplikasikan dengan simbolis. Dalam islam sendiri, warna putih dan hitam adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Putih acap kali dikaitkan dengan sesuatu yang baik, murni, dan suci. Berbeda dengan halnya hitam yang sering kali dikaitkan ataupun dipandang dengan sesuatu yang buruk, gelap, dan sesuatu yang memiliki stigma negatif. Hukum warna dalam islam itu sendiri bersifat mubah alias netral.

Dari kecil bahkan hingga saat ini stasiun TV swasta sering kali memperlihatkan ataupun memampilkan sebuah drama, yang dimana terdiri dari dua buah tokoh yang berperan penting yakni pratagonis dan antagonis atau si putih dan si hitam yang selalu memiliki sifat oposisi. Mereka sering kali berkonflik baik secara fisik maupun secara psikis. Dari sinilah masyarakat secara tidak sadar terkonstruk paradigma mereka tentang adanya kelas si penindas dan si tertindas.

Perbedaan warna sering kali terjadi, dan bahkan menjadi sebuah permasalahan dalam lingkungan masyarakat itu sendiri. Adanya perbedaan kelas atas dan kelas bawah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat biasayan identik dengan warna. Ya, lagi-lagi rasisme permasalahannya.

Rasisme secara singkat dapat kita artikan sebagai sebuah paham yang menyatakan bahwa satu ras lebih tinggi dengan ras lainnya. Rasisme bagaikan sebuah penyakit kanker yang terus menjalari peradaban umat manusia. Dalam lingkungan masyarakat rasisme sering tampil sebagai bentuk kebencian terhadap orang lain, karna memiliki perbedaan warna kulit, bahasa dan budaya. Pelaku rasisme bukan hanya memperlihatkan kebenciannya dalam bentuk fisik melainkan secara lisan yang dapat menjatuhkan korbannya dari segi fisik maupun mental. Akibatnya,  Rasisme sering menjadi bahan bakar terciptanya perang, konflik berdarah, pembantaian, perbudakan dan lebih parahnya lagi tak dianggap sebagai manusia.

Memiliki wajah yang cantik dan ganteng, berkulit putih mulus adalah dambaan umum tiap perempuan dan laki-laki. Banyak diantara kita yang tidak segan melakukan segala cara dan upaya untuk bisa masuk dalam ketagori cantik dan ganteng agar bisa berkamuflase dilingkungan sosial.

Adanya standarisasi, atau tatanan sistem yang dibuat oleh masyarakat memaksa tiap orang mengeluarkan uang lebih hanya untuk mendapatkan pengakuan dari khalayak banyak. " Kok kamu cantik/ganteng banget sih, kamu beda ya?, yang dulunya butek, keruh, hitam legam sekrang terlihat bercerah". Siapa sangka, hanya dengan mengandalkan beberapa kata dengan tambahan garam dapat membuat wajah seseorang menjadi merah tersipu malu, senang bahkan bangga dengan hasil pencapaiannya.

Media memiliki peran penting untuk mendukung sistem yang telah lama mendarah daging dalam tatanan sosial masyarakat. Media pertelevisian menjadi media pilihan utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia, yang rata-rata menghabiskan waktu 4,5 jam setiap harinya untuk menonton televisi, dan hampir semua rumah tangga kelas menengah mempunyai televisi.

Program televisi paling diminati oleh rumah tangga kelas menengah di Indonesia yang biasa ditonton setiap harinya, adalah olahraga, disusul dengan seri drama dan jenis-jenis program hiburan lainnya, dan disetiap serial yang kita ikuti terdapat sela-sela iklan didalamnya, yang rata-rata memiliki durasi 10-15 menit perharinya. Lagi-lagi iklan yang dimaksudkan disini tentunya tidak serta merta bersifat edukasi,  melainkan hanya bersifat sebagai pemuas hasrat semata.

Produk pemutih kulit dan pelurus rambut adalah salah satu produk yang paling dominan ditampilkan,  dengan mengandalakan orang yang cukup familiar dikalangan masyarakat,  seperti mbak Anggun dan Maudy Ayunda, yang memang memilki background paras rupa yang cantik, berkulit putih mulus, dan berambut nan lurus. Akan tetapi,  apakah produk diatas akan berlaku juga dengan orang-orang yang memilki gen berkulit hitam dan berambut kriting yang bahkan menjadi ciri khas dari sebuah keluarga, kelompok, ataupun ras yang berbeda? Nyatanya, kapitalisme tidak akan pernah berjalan ketika anda tidak memiliki Rasisme.

Definisi cantik dan genteng yang berlaku di sebuah wilayah atau negara ini, tentunya tidak berlaku dibeberapa negara lainnya. Cantiknya orang suku Apatani (India), tak sama dengan cantiknya wanita suku Mursi (Ethiopia), sama halnya dengan suku Dayak (Kalimantan), yang tak sama dengan standarisasi daerah-daerah lainnya di Indonesia. Cantik tak selamanya identik dengan warna putih, berwajah mulus, berambut lurus, tinggi,  mancung. Cobalah kita berkiblat pemenang Miss Universe 2019, Zozibini Tonsi (Afrika Selatan), yang mewarisi kulit hitam. Zozibini Tonsi berhasil mengalahkan 90 peserta delegasi tiap negara lainnya, seperti Madison Anderson (Puerto Riko),  dan Sofia Aragon (Meksiko), yang hanya menempati posisi kedua dan ketiga. Dimana dia mewarisi kulit putih, tinggi, dan hidung mancung.

Rasisme, perbedaan warna kulit,  budaya, bahkan keyakinan sudah menjadi virus didalam tubuh masyarakat,  yang siap menular ketubuh yang satu dengan tubuh lainnya, tak kenal siapa orangnya dan bisa saja kalian adalah korban ataupun malah menjadi pelaku.

Beberapa hari yang lalu, dunia digemparkan dan berduka atas meninggalnya George Floyd keturunan Afrika-Amerika yang meregang nyawa diatas lutut seorang polisi dan menjadi korban atas kejamnya rasisme. Selain di Amerika, meninggalnya Floyd memicu protes dibeberapa negara bagian seperti, Jerman, Italia, Kanada dan negara lainnya.

Kasus atas meninggal Goerge Floyd adalah satu dari sekian banyaknya kasus rasisme yang ada didunia. Sama halnya dengan kasus diskriminasi yang didapatkan oleh orang berkulit hitam dari Afrika di China yang mengakibatkan pengusiran warga china dari beberapa negara di Afrika sebagai bentuk balasan, atau kasus politik apartheid yang rasis di Afrika Selatan, dimana tatkala kulit putih eropa berkuasa, maka selama berpuluh puluh tahun warga berkukit hitam menjadi warga negara kelas dua dan bahkan terpinggirkan, yang pada akhirnya melahirkan balasan yang sama tatkala warga negara berkukit hitam berkuasa dibawah naungan Nelson Mandela. Atau bagaimana kasus Rasisme dan diskriminasi yang didapatkan orang papua dibeberapa daerah diIndonesia, yang dihakimi,  dihujati dengan kata-kata makian dan cacian, dikepung dan bahkan diancam sebagai teroris bersenjata. Kulit hitam berambut keriting kalian usir dirumah sendiri, dan diasingkan seakan akan dianggap aib didalam tatanan masyarakat. Sedangkan sumber daya alam mereka kalian kerot untuk menghidupi jawa dan sekitarnya,  pendidikan mereka dibatasi agar mereka tetap diam terborgol dalam kebodohan.

Berapa banyak pelanggaran rasis tanpa ada solusi tuntas? Begitulah ketidakadilan, yang kadang melahirkan pembalasan dan ketidakadilan yang baru, jangan adalagi ketidakadilan yang di pertontonkan dan sisakan sedikit toleransi untuk kemanusiaan. Sudah saatnya kita mengakhiri semua itu, karna kita semua sama yang tak memilki kuasa untuk meminta ke Tuhan dilahirkan dengan warna kulit seperti apa, dari rahim siapa dan dalam keadaan kondisi seperti apa.


Jumat, 05 Juni 2020

PENTINGKAH IPK?

PENTINGKAH IPK?

Muhammad Nurfaizy Hamdan - Akuntansi 017

Assalamualaikum Wr.Wb. Opini dalam bentuk tulisan ini saya angkat untuk dapat memberikan pandangan atau paradigma kepada para pembaca sesama mahasiswa tentang seberapa pentingkah IPK atau Indeks Prestasi Kumulatif bagi mereka.

Para pembaca yang Insya Allah dalam keadaan sehat walafiat.  Indeks Prestasi Kumulatif alias IPK sering menjadi kebanggaan sekaligus momok menakutkan bagi mahasiswa. Bahkan katanya nilai IPK bisa menentukan tingkat kebanggaan dan kepercayaan diri seseorang. Sepenting itu kah IPK ?

Di Indonesia umunya diterapkan IPK skala 0-4, dengan 4.00 dinilai sempurna, 3.51 keatas dinilai cumlaude, 3.00 dianggap bagus sedangkan dibawahnya sudah dapat menjadi momok tersendiri bagi para penyandangnya. Tapi apakah sebegitu pentingnya sampai layak dijadikan “goal” utama mahasiswa ? . Bahkan, sampai bisa menyebabkan para mahasiswa menjadi depresi hingga yang paling menyedihkan dan disesalkan adalah kasus bunuh diri mahasiswa lantaran masalah nilai

Langsung saja kita masuk ke bahasan ya. Sebenarnya pentingkah kita mempunyai IPK yang tinggi?Atau justru malah tidak terlalu penting? Sebenarnya jawaban dari pertanyaan tersebut masih pro kontra. Ada yang ngomong penting karena itu menjadi kunci penting untuk memasuki dunia kerja. Tapi tidak sedikit juga yang ngomong tidak  terlalu penting karena saat ini yang utama itu bukan IPK, melainkan skill.

Terlepas dari pro kontra tersebut, mari kita coba untuk berpikiran secara terbuka dan tidak mengambil kesimpulan begitu saja secara mentah. Ada banyak hal yang harus kita pertimbangkan sebelum menyimpulkan hal ini. Walaupun tetap pasti akan timbul pro-kontra, tapi setidaknya kita tidak hanya memandang dari satu sudut pandang saja. Ada pesan yang cukup membuat saya menohok. Katanya begini….

“IPK ITU TIDAK DIBAWA MATI YANG DIBAWA MATI ADALAH “PROSES” UNTUK MENDAPATKAN ITU”

Ada satu sisi yang membuat saya sepakat dan tidak  sepakat dari kata-kata di atas. Pertama, saya sepakat bahwa sebenarnya yang jauh lebih berharga dan akan dibawa mati itu adalah proses dari mendapatkan IPK nya. Apakah dengan cara yang benar, jujur, dan sesuai aturan ataukah memang dengan cara-cara kotor yang penuh dengan kelicikan? Itu semua tentu saja akan dipertanggungjawabkan.

Namun saya kurang sepakat kalo IPK itu tidak  dibawa mati. Sebab sebenarnya IPK itu juga akan dibawa mati. Tentu saja, bukan hanya prosesnya saja yang bakal kita pertanggungjawabkan dihadapan Tuhan. Tapi seberapa nilai IPK nya juga pasti akan dipertanggungjawabkan. Entah itu besar ataupun kecil.

Kalo besar, sudah seberapa banyak ilmu yang kamu manfaatkan dari besarnya IPK yang kamu dapat itu. Apakah IPK itu sudah bisa membuat kamu lebih dewasa, lebih bijak, dan lebih mengerti terkait dari esensi ilmu itu sendiri? Atau justru dengan besarnya IPK itu hanya membuat kamu sombong dan jemawa.

Pun kalau IPK kamu kecil. Kenapa IPK mu bisa kecil? Padahal Tuhan telah mengkaruniakan kita semua modal waktu yang sama yaitu 24 jam sehari. Apakah kita terlalu banyak mengeluh dan malas-malasan sehingga hal tersebut bisa terjadi pada kita. Ah intinya, baik besar atau kecil IPK yang kita peroleh, semuanya bakalan di bawa mati. Bakal dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Adapun kalimat yang sering muncul seperti ini…

“SKILL DAN ILMU YANG DISERAP DAN DITERAPKAN JAUH LEBIH PENTING KETIMBANG IPK”

IPK yang tinggi bukanlah jaminan bahwa seorang mahasiswa telah benar-benar menguasai ilmunya. Cara mendapatkan IPK tinggi yang sangat beragam merupakan alasan kenapa banyak sekali mahasiswa yang bagus nilainya namun tidak benar-benar paham apa yang menjadi bidang studinya. Hal ini sering kita temui di kampus. Oleh karena itu, janganlah terpaku pada nilai IPK yang tinggi. Tapi cobalah untuk kenal lebih dekat dengan sesama mahasiswa,  kamu bisa tahu apakah dia benar-benar menguasai ilmunya. Apabila tolak ukuran kamu dalam menilai seseorang hanya dari IPK, maka kemungkinan besar kamu akan tertipu. Bisa jadi, mereka yang IPK nya jelek justru punya skill yang lebih beragam.
Lalu bagaimana dengan …

“LEBIH BAIK MENGEJAR IPK TINGGI ATAU AKTIF ORGANISASI/KEPANITIAAN?”
      
          Semuanya kembali lagi ke prioritas kamu sebagai mahasiswa. Cobalah untuk lebih banyak sharing bersama senior atau konsultasi ke dosen pembimbing ketika kamu bingung. Dan yang paling penitng , pastikan kamu tau betul kenapa kamu ikut organisasi atau kepanitiaan tersebut. Jangan sampai  kamu terpaksa ikut hanya karena sekadar ikut-ikutan teman kamu. Mungkin waktu SMA, setiap kegiatan sekolah dilakukan bersama-sama, tapi dunia kuliah itu berbeda, kamu tidak harus ikut-ikutan teman kamu lagi untuk melakukan sesuatu. Kamu bebas menentukan kegiatan-kegiatan kamu sendiri, kamu betul betul punya kebebasan focus untuk belajar mengejar prestasi akademis atau ikut kegiatan-kegiatan tertentu.

Untuk menutup tulisan ini, saya sendiri memandang bahwa memiliki IPK yang tinggi itu penting. Kenapa? Karena IPK tinggi merupakan bagian dari tanggungjawab kita sebagai mahasiswa. Tanggungjawab kita terhadap orang tua yang telah membiaya kita kuliah, tanggungjawab kita terhadap diri sendiri dan dosen, dan tanggungjawab-tanggungjawab yang lainnya. IPK tinggi juga merupakan bagian dari bagaimana kita mengoptimalkan kesempatan yang diberikan Tuhan untuk menunjukan kemampuan terbaik kita. Kalaupun nantinya kamu dianggap ambis dan sebagainya, itu bukan sebuah masalah. Lalu bagaimana dengan organisasi dan peningkatan skill lainnya sebagai pendukung IPK yang saya miliki ? Secara pribadi organisasi dan kegiatan kepanitiaan termasuk hal yang penting bagi saya, dan urgensi dari organisasi tidak akan mereduksi urgensi dari IPK itu sendiri.

Dan tentu saya akan sekaligus memberikan saran kepada kalian agar tetap dapat memperoleh IPK yang tinggi sembari mengikuti kegiatan organisasi maupun kepanitiaan :
1.       Buatlah List pada setiap kegiatanmu.
2.       Tentukan yang mana prioritas.
3.       Sisihkan waktu untuk mengulang pelajaran sebelum pelajaran berlangsung.
4.       Sadar diri untuk tidak mengambil tanggung jawab terlalu tinggi di organisasi apabila disadari tidak mampu membagi waktu dengan begitu baik.
5.       Jadikan kegiatan organisasi sebagai wadah mencari pengalaman.

Mungkin dari dulu penilaian masyarakat terhadap IPK tinggi itu tidak terlalu penting, tapi kenyataannya IPK memiliki peranan yang cukup bermanfaat bagi kamu. Mulai dari membuka gerbang dalam dunia kerja, meneruskan S2, mendapat beasiswa, hingga mempermudahmu menjadi calon menantu. Walaupun aktif berorganisasi dan kuliah sambil kerja, tapi jangan lupakan kuliah ya. Semangat!

Rabu, 03 Juni 2020

BERANTAKAN

Berantakan

Karya : Power Ranger Terkutuk


Orang-orang kota telah membunuh cinta,
Tepat ketika aku kelaparan
Tepat ketika anak-anak mengamen di lampu merah
Harapan menjadi bayang-bayang yang melucuti kehidupan

Aku ingin menyeret Tuhan tepat di depan bapak
Dan berkata adakah sholat yang kutinggalkan
Dan memaki bapak kalau dia telah membunuhku
Tepat ketika aku tak lagi bisa menjadi diri sendiri

Benar kata si juju
Satu-satunya cara hidup berdampingan
Adalah jangan berkenalan

Aku telah lahir kembali
Buah dari percintaan sepasang mata
Dan senyum di bibirmu
Dan wangi coklat ditubuhmu Nona



Makassar, 12 Mei 2020

Senin, 01 Juni 2020

The Different Way


Cerpen : The Different Way
Karya Cindy Anggraeni

   Sebuah sapaan hangat ikut membuat hatiku menghangat. Meski bukan sapaan langsung melainkan melalui media pesan tapi tak mengurangi kehangatan yang perlahan menjalar kelubuk hati. Sesederhana itu dia membuatku bahagia.

   Aku memasukkan kembali ponsel ke dalam tas alih-alih ke saku celana. Itu membuatku kembali terbayang kejadian setahun silam, di mana aku kecopetan dan ponselku raib di tangan pejambret karena kuselipkan di saku celana. 

   Jam tangan biru yang melingkari pergelangan tanganku menunjukkan pukul 07.45 yang artinya sisa lima menit sebelum kelas dimulai. Untung saja aku sudah tiba di kelas kurang lebih sepuluh menit yang lalu dan aku tidak perlu berlarian sepanjang koridor kampus untuk mencapai kelas.
  
   Kelas sudah berakhir yang ditutup dengan sesi tanya jawab.

   Tidak seperti kebanyakan orang-orang yang sehabis kelas akan berhamburan dan bergerombolan keluar kelas bersama teman masing-masing. Aku memilih diam di kelas menanti pemateri selanjutnya ketimbang ikut keluar. Aku selalu seperti ini. Sendiri, tanpa teman. Salah satunya yang menghiburku adalah musik yang aku dengar dalam diam.

   Entahlah sendiri membuatku nyaman walau kadang jujur aku membutuhkan setidaknya seorang teman untuk membagi kisah ku, hariku tapi sejauh ini sulit mendapat teman yang betul-betul mengerti ku. Bahkan di kelas ini aku tidak memiliki teman yang betul-betul 'teman' dalam artian sesungguhnya. Aku mengenal mereka sebatas nama dan teman sekelas, tidak lebih dari itu.

   Dalam hidup ku tidak ada yang namanya teman jalan, teman curhat, teman menonton film favorite, atau sekedar teman makan di kantin. Tidak, aku tidak memiliki itu semua. Selama ini aku menjalaninya sendiri, benar-benar sendiri dan aku sudah menyatu sepertinya dalam kesendirian ini.

   Tapi, kedatangannya yang sudah tiga bulan ini perlahan memecahkan asumsiku tentang aku yang tak berguna, si introvert, aneh, dan aku sendiri tak pernah bangga dengan diriku. Tak pernah sedikitpun.

"Hey, ikut gue yuk."

   Tubuhnya yang menjulang menghalangi matahari seperti siluet di mataku. Rambutnya yang hitam nampak kecoklatan dan semakin bersinar ditimpa bias mentari.

"Mau kemana? Aku masih ada kelas."

"Astaga Nia, masih ada sejam eh lebih malah. Ini gak bakal buat elo telat," ucapnya melihat jam dipergelangan tangannya. "Ayo."

   Dia berjalan disampingku yang nampak menjulang tinggi, tubuhku seakan tenggelam olehnya. Kita sangat berbeda, sangat-sangat jauh perbedaannya. Aku si introvert yang jarang bahkan hampir tak pernah ada yang menyapa, sedangkan sekarang dia sepanjang berjalan melewati koridor  ada-ada saja yang menyapanya.

"Gimana tadi kelasnya, asik?"
Kepalanya menoleh sesekali melihatku, meski tak kubalas melihat.

Aku mengedikkan bahu. "Ya, gitu, biasa aja. Kamu gimana?"

   Ini dia lagi sisi yang beda antara aku dan dia. Aku si pendiam tak pernah membuka obrolan sebelum dia yang memulai. Ya, aku terlalu sekaku itu, dan aku akui.

"Jam sepuluh nanti baru ada kelas. Huh, mana si Pak Broto lagi. Hadeh."

   Aku sempat tertawa kecil melihatnya menahan kesal. Bagaimana tidak, aku tahu sekali dia itu adalah satu dari sekian mahasiswa yang paling malas mengikuti kelas Pak Broto. Alasannya? Pak Broto adalah dosen sekaligus pendongeng sejati. Topik yang seharusnya ia bahas akan jauh melenceng, malahan membahas masalah pribadi. 

"Ketawa lo ya, seneng banget lihat temannya menderita."

   Entah sejak kapan aku juga menganggapnya teman. Padahal tak ada yang menawari hubungan pertemanan diantara kita. 

   Tiba-tiba saja siang itu aku yang kebetulan mengerjakan tugas di taman kampus di hampirinya yang tanpa basa-basi mengajakku kenalan. Dia yang banyak bicara awalnya mengusikku yang ingin konsen terhadap tugas yang kutekuni, tapi lama-lama dia lucu juga dan cukup menghiburku. Siapa sangka dia yang kukira hanya iseng mengajak ngobrol, keesokan harinya dia lagi-lagi datang menemuiku menawarkan hari-hari yang harus kuakui perlahan berwarna dari sebelumnya.

"Maaf."

"Maaf diterima."

   Aku kembali melangkahkan kaki dan tak sadar sudah mencapai sebuah taman yang belum aku kunjungi sebelumnya. Aku meraih uluran tangannya melangkahi kubangan air yang lumayan besar. Dengan senyum dan ucapan terima kasihku ia balas dengan menyentuh kepalaku.

   Ia memberhentikan langkah di sebuah pohon dengan dudukan melingkar di bawahnya. Aku ikut duduk saat dia menepuk ruang disebelahnya. Tamannya tidak ramai, tapi tidak juga sepi. Ada sebuah kedai tak jauh dari kami yang menjual minuman dan makanan. Mataku tertubruk pada sebuah banner yang menuliskan kalimat ice cream besar-besar. Aku ingin es itu, tapi tidak cukup berani bilang padanya untuk membelinya. Apa aku harus membuka obrolan pertama kali.

"Ke sana yuk, beli es krim." See, dia selalu sadar denganku, dia benar-benar mengertiku mungkin lebih dari diriku sendiri.

   Aku memilih duduk sementara dia sudah berdiri mengantri es krim yang didahului seorang anak kecil. Mereka terlibat dalam sebuah percakapan yang tidak dapat aku dengar dari tempatku. Tapi yang jelas, mereka berdua tertawa membuat lengkungan sabit tercipta di matanya yang cenderung kecil.

   Ia kembali setelah membawa dua buah cup berukuran sedang berisi dua jenis sajian berbeda. Aku kira dia akan memesan es krim sepertiku, alih-alih memesan es krim, ia memilih hot chocolate di cuaca yang cenderung panas. Lagi, kita berbeda dalam hal selera. 

Ya, aku sangat tahu dia si penggila minuman coklat dan aku si penyuka es krim.

"Kalian cerita apa, kok sampai cekikikan begitu."

   Beri applause untukku karena kali pertama aku membuka obrolan setelah selama ini ia terus yang mencari topik.

"Oh itu. Jadi lo ngeliat, ya ampun, diperhatiin segitunya. Jadi, seneng," ucapnya belum menjawab pertanyaanku dan malah membuatku tersenyum malu.

"Adik itu namanya Cristin. Dia itu anak yang sering nyanyi di gereja tempat gue padus juga," lanjutnya.

Deg.

   Seperti ditarik dari kenyataan, aku terdiam seribu bahasa. Mengapa bisa aku lupa kalau ada yang lebih besar perbedaannya antara dia dan aku. Kalau dia beribadah setiap minggu di gereja maka masjid tempatku melakukannya . Bahkan, kita yang berbeda ini menyebut nama Tuhan dengan cara yang berbeda pula.

   Lalu, mataku beralih melihat buku jurnal yang ia bawa-bawa sedari tadi. Mataku tertubruk pada barisan kalimat disana 'Theodeore Steven Cristian'. Sesederhana itu dan aku sudah tahu itu berbeda. Apalagi, bandul kalung yang melingkari lehernya semakin menjelaskan kalau kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama selain sebatas teman. 

   Maka, sejak perasaan lain yang hadir dan aku tahu kalau hatiku memberi getaran lebih untuknya, aku sebisa mungkin menepisnya jauh. Deo, lelaki yang memberiku warna lebih hanya bisa menjadi Deo sebatas teman tidak lebih dari kata itu. Karena Deo, laki-laki yang kutahu sangat mencintai Tuhannya dan akupun begitu kepada Tuhanku.


HARI INI GERIMIS

Hari ini tidak ada matahari Dari langit mulai turun gerombolan air  Memandang dari tirai jendela kamarku Mengamatinya… Ah, gerimis! Aku masi...