Jumat, 13 November 2020

CARI NYAMAN, BUKAN CARI AMAN

CARI NYAMAN, BUKAN CARI AMAN

Andi Tenriawaru A. Kahrir - Akuntansi 17

Pada tulisan ini saya akan membahas terkait beberapa hal yang tentunya merupakan hasil refleksi dan pengamatan dari sudut pandang saya sendiri.

Berbicara soal bodo amat dan rasa tidak enakan, tentunya kedua hal tersebut sangat berpengaruh bukan dalam kehidupan setiap individu? Namun, sebelum membahas keterkaitan kedua hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari, tentunya kita harus tahu terlebih dahulu apa itu “sikap bodo amat” dan “rasa tidak enakan” ?

Sikap bodo amat biasanya identik dengan sikap yang cuek, menjengkelkan, tidak pedulian terhadap suatu hal yang beberapa orang itu anggap sebagai hal yang tidak penting bagi diri  mereka. Kemudian untuk rasa tidak enakan itu sendiri adalah suatu kondisi dimana ketika seseorang merasa sulit untuk mengatakan kata “tidak” yakni bentuk penolakan dalam situasi tertentu.

Kedua hal ini tentunya akan membuat orang-orang yang mengalaminya akan menjadi kurang nyaman termasuk untuk diri saya sendiri jika tidak diporsikan dengan baik sebagaimana mestinya. Bagaimana tidak jika beberapa hal dalam hidup ini harus kita fikirkan dan tanggapi tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu, apakah hal tersebut memang layak untuk kita tanggapi? Apakah hal tersebut akan berdampak baik jika kita fikirkan? Dan apakah dalam setiap kondisi kita memang diharuskan untuk selalu berkata “iya” meskipun sebenarnya hati meronta ronta untuk menolak keadaan itu.

Rasa tidak enakan itu muncul berawal dari rasa takut yang kita miliki dalam menghadapi suatu konflik. Biasanya orang yang mengalaminya akan beranggapan bahwa daripada terlibat dalam suatu masalah, lebih baik mengiyakan hal yang orang lain minta kepada kita. Begitupun untuk sikap bodo amat yang acap kali dianggap buruk oleh sebagian pandangan karena cenderung mendekati sikap individualis yang dianggap hanya mementingkan diri sendiri. Namun pada kenyataannya sikap ini juga memiliki sisi yang sebenarnya memiliki dampak yang baik untuk diri seseorang.

Sisi baik dari sikap bodo amat dan rasa tidak enakan itu muncul dan memahamkan diri kita akan pentingnya self-love (mencintai diri sendiri). Dilansir Psychology Today, mencintai diri sendiri bukan sebatas mengenakan pakaian terbaik, merawat diri, atau mementingkan diri sendiri ketimbang orang lain.

Lebih dari itu, self-love itu sendiri sebenarnya lebih melibatkan segala aspek yang menyangkut persoalan diri kita sendiri dalam bentuk penghargaan, rasa percaya pada diri sendiri serta bentuk kepedulian kita terhadap diri sndiri. Jika salah satu dari aspek tersebut luput, berarti self-love belum sepenuhnya terlaksana.

Dalam kehidupan sehari hari tentunya kita selalu diperhadapkan oleh berbagai polemik yang terkadang dapat memberikan tekanan untuk diri kita sendiri. Misalnya dalam hubungan sosial, tentunya tidak semua orang menyukai atau bahkan mendukung segala hal yang kita lakukan. Beberapa orang mungkin akan mengkritik bahkan mencibir hal tersebut.

Dengan adanya sikap bodo amat ini patutnya membuat kita lebih pandai dalam memanage setiap kondisi yang tengah kita hadapi. Dalam hal ini kita memiliki kebebasan untuk tetap memberikan pandangan baik ataupun buruk terhadap setiap hal yang kita lakukan. Cibiran maupun kritikan tersebut bukanlah hal yang seharusnya kita jadikan sebagai alat untuk membuat kita menjadi tidak nyaman dengan apa yang tengah kita lakukan, justru menjadi motivasi dan acuan untuk terus berkembang menjadi lebih baik.

Sama halnya dengan rasa tidak enakan, dalam kehidupan sehari haripun acap kali kita diperhadapkan dengan hal demikian. Misalnya kita mengalami suatu kondisi dimana dalam lingkungan pergaulan kita diharuskan untuk mengikuti trend atau style yang dijadikan patokan oleh teman-teman, kemudian untuk mengadapi kondisi tersebut seharusnya kita juga memiliki kebebasan untuk memilih.  Tidak selalu untuk memaksakan diri mengatakan hal yang bertentangan dengan kenyataan dan selalu terperangkap dalam kondisi yang diri kita sendiripun sebernarnya sangat menentang akan hal itu.

Dari beberapa kondisi yang sempat saya gambarkan, kemudian dapat saya tarik kesimpulan bahwa sebenarnya dalam menjalani kehidupan ini kita memang selalu mengharapkan bahwa hal yang akan dihadapi dikemudian hari itu akan selalu berjalan baik-baik saja dan sesuai dengan ekspektasi. Namun pada kenyataannya hidup tak selalu berpihak pada kita, begitupun untuk setiap aspek yang ada di dalamnya.

Selain memiliki dampak yang buruk, sikap bodo amat dan rasa tidak enakan tentunya juga memiliki dampak yang baik untuk tiap orang yang mengalaminya. Dimana mereka lebih mampu untuk memberikan ketenangan pada dirinya dengan tidak mencemaskan dan memikirkan segala sesuatu secara berlebihan. Mereka juga dapat lebih menghargai diri sendiri dengan menyelaraskan apa yang mereka rasakan dengan tindakan yang akan mereka lakukan.

Jadi disini kita diharuskan untuk mampu menempatkan sebaik mungkin setiap hal sesuai dengan porsi dan penempatannya. Tidak kurang maupun berlebih. Tetap menekankan konsep self-love dalam diri sendiri namun tidak pula menggugurkan kewajiban kita sebagai makhluk sosial.

Artinya sebagai makhluk sosial, kita harus mampu menempatkan sikap bodo amat dan tidak enakan itu pada posisi yang tepat, karena menjalani kehidupan ini tidak selamanya untuk selalu membuat orang lain terkesan, membuat semua orang nyaman dan suka dengan apa yang kita lakukan. Dunia tak selamanya mengharuskan kita untuk membuat setiap orang yang ada didalamnya menjadi takjub dan puas dengan apa yang kita persembahkan kepada mereka. Terkadang salah dalam menempatkan pilihan dalam hidup pun juga memiliki dampak yang baik untuk diri kita sendiri jika kita bijak dalam menyikapinya dan menganggapnya sebagai bahan dalam pengevaluasian diri.

Lebih tepatnya, kebebasan dalam bersikap adalah hak yang harus dimiliki oleh setiap orang. Tentunya saya tekankan kembali bahwa sesuai porsi dan penempatan yang tepat. Cari nyaman dan bukan cari aman. Tentukan pilihan apa yang membuat diri kita menjadi nyaman sehingga rasa aman itu ada. 


Penulis :  Andi Tenriawaru A. Kahrir

KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK DI MASA PANDEMI COVID-19

"Kebijakan Insentif Pajak di Masa Pandemi Covid-19"

Romi Sopal - Ilmu Ekonomi

Bagi masyarakat dunia, tahun 2020 merupakan tahun yang sulit termasuk juga Indonesia. pandemi Covid-19 berdampak sangat besar pada seluruh aspek kehidupan masyarakat, terutama di bidang kesehatan dan ekonomi. Di aspek kesehatan, kita sering menerima kabar buruk setiap hari. Meskipun di sisi lain, jumlah orang yang pulih juga meningkat, namun jumlah WNI yang terpapar Covid-19 semakin banyak.

Selama pandemi ini, perekonomian masyarakat juga terkena dampaknya, dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat. Banyak pelaku UMKM yang hampir kehilangan usahanya setiap hari, dan banyak pula para pekerja yang di PHK, yang menyebabkan meningkatnya tingkat pengangguran. Dan pada tahun ini pula kemungkinan tidak akan mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% dan tingkat inflasi 3,1% yang ditetapkan oleh pemerintah di awal tahun.

Jelas target itu tidak akan terjadi pada tahun ini. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lambat, salah satunya di bidang perpajakan. Menurut PBB, insentif perpajakan adalah tentang persaingan pajak dan bagaimana suatu negara dapat menarik investasi agar tidak mengalir ke negara lain. Persaingan untuk menarik penanaman modal asing berbeda-beda tergantung pada alasan penanaman modal itu sendiri. Oleh karena itu, efektivitas insentif pajak sangat bergantung pada jenis investasi yang dilakukan, apakah investasi tersebut ditujukan untuk mengembangkan sumber daya alam (mencari sumber daya), mempromosikan penjualan atau produksi produk di pasar tertentu (mencari pasar) atau alasan lain. Alasan investasi investor akan menentukan apakah insentif pajak menarik di suatu negara. Bentuk investasi yang berbeda juga berlaku, karena setiap bentuk investasi menanggapi pajak secara berbeda.

 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23 Tahun 2020 yang mengatur tentang pemberian insentif perpajakan bagi wajib pajak yang terkena dampak akibat wabah  Covid-19. Pemberian insentif  tersebut  merupakan respon pemerintah terhadap perekonomian wajib pajak yang merosot tajam akibat pandemi. Sesuai aturan, pemerintah memberikan insentif pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh).

Pertama, insentif terhadap pajak pertambahan nilai (PPN) tidak diadakan , dan pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung oleh pemerintah (PPN DTP). Hal tersebut diharapkan dapat memberikan rangsangan bagi dunia usaha yang terkena pandemi ini. Kedua, pihak importir juga dibebaskan dari pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 atas impor atau pembelian barang yang digunakan untuk menangani wabah Covid-19.

Kemudian, untuk wajib pajak badan dan bentuk usaha tetap (BUT) dalam negeri dibebaskan dari Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh). selanjutnya, bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang mendapat santunan dalam hal tertentu sebagai santunan atas pelayanan yang dibutuhkan dalam menangani pandemi Covid-19 dikecualikan dari Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh).

Insentif diberikan untuk jangka waktu enam bulan dari April 2020 hingga September 2020. Artinya, setelah berlakunya peraturan ini, SPT yang diajukan untuk periode April 2020 hingga September 2020 akan mulai diberikan insentif kepada Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK)

Selain itu, menanggapi terganggunya rantai pasokan domestik akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi global dampak dari pandemi Covid-19, pemerintah juga telah memberikan insentif kepada perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat dan  kemudahan untuk mengimpor kepada negara tujuan ekspor (KITE) berdasarkan PMK No. 31/PMK.04/2020 Seputar insentif lainnya bagi penerima fasilitas di kawasan berikat dan  kemudahan untuk mengimpor kepada negara tujuan ekspor guna menangani bencana penyakit virus corona (Coronavirus disease 2019 / Covid-19)

Kebijakan fiskal pemerintah yang memberikan insentif di bidang perpajakan diharapkan dapat memulihkan kondisi perekonomian masyarakat secepatnya. Meskipun kebijakan ini juga memiliki “efek samping” untuk mengurangi pendapatan melalui pajak nasional. Efek samping lainnya adalah dapat meningkatkan hutang pemerintah. Namun yang pasti kondisi kesehatan dan ekonomi masyarakat lebih penting. Pertanyaannya sekarang, apakah kebijakan tersebut efektif?

Diantara beberapa ilmu makroekonomi yang saya analisis, terdapat teori yang berkaitan dengan kondisi perekonomian di Indonesia saat ini yang dikemukakan oleh seorang ekonom bernama John Maynard Keynes. Teori ini dinamakan Model Keynesian, yang menunjukkan bahwa perlambatan pertumbuhan ekonomi suatu negara disebabkan oleh permintaan agregat yang rendah, yang menyebabkan penurunan pendapatan nasional. Dengan meningkatkan permintaan agregat, ekonomi suatu negara dapat pulih dengan cepat.

Lalu bagaimana cara meningkatkan permintaan agregat ? Salah satu cara cepat yang dapat diambil suatu negara adalah dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah dan mengurangi pajak. Peningkatan belanja pemerintah dapat dicapai dengan memberikan subsidi dan bantuan sosial kepada masyarakat yang terkena pandemi, sekaligus menurunkan penerimaan pajak dengan memberikan insentif pajak kepada wajib pajak. Peningkatan pengeluaran pemerintah dan penurunan perpajakan akan meningkatkan pendapatan rumah tangga sehingga mendorong peningkatan pengeluaran rumah tangga dan pertumbuhan perekonomian nasional.

Berdasarkan data, pengeluaran konsumsi rumah tangga pada produk domestik bruto (PDB) pada triwulan II tahun 2019 mencapai Rp 221,3 triliun. Dengan nilai tersebut, konsumsi rumah tangga masih memberikan kontribusi terbesar bagi perekonomian nasional, melebihi 55% dari PDB. Ini menjadi instrumen penting bagi pemerintah dalam menangani pertumbuhan ekonomi yang melambat. Oleh karena itu, dengan adanya insentif pajak diharapkan dapat memicu meningkatnya tingkat pengeluaran konsumsi rumah tangga. 


Penulis : Romi Sopal

MANUVER KEBIJAKAN PEMERINTAH DI SEKTOR PERPAJAKAN DITENGAH PANDEMI COVID-19 YANG MELANDA INDONESIA

 “Manuver Kebijakan Pemerintah di Sektor Perpajakan ditengah Pandemi Covid-19 yang Melanda Indonesia”

Ince Nur Akbar - Akuntansi

Wabah Pandemi Corona Virus Disease atau biasa juga disebut dengan covid-19 pertama kali terdeteksi di Indonesia sejak awal bulan Maret 2020, sejak dari saat itu pemerintah telah berusaha untuk menanggulangi wabah virus ini. Tidak hanya disektor kesehatan saja dampak dari wabah pandemi covid-19 yang melanda Indonesia juga menyasar ke sektor perekonomian, contohnya seperti terjadinya PHK besar-besaran yang menyebabkan meningkatnya tingkat pengangguran di Indonesia naik, juga terjadinya kerugian yang dirasakan oleh beberapa perusahaan besar misalnya, perusahaan ojek online, makanan cepat saji, mall dan lain-lain, tidak hanya itu dimasa pandemi covid-19 ini kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sangatlah minim, ini semua merupakan dampak dari regulasi pemerintah yang membatasi kegiatan sosial yang melibatkan khalayak ramai, guna untuk meminimalisir penyebaran virus covid-19. Kenyataannya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini sangat merugikan sektor perekonomian, dimana omset pendapatan perusahaan mengalami penurunan karena konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa berkurang akibat adanya pembatasan sosial yang mengharuskan masyarakat membatasi kegiatan diluar rumah.

Dampak dari wabah pandemi covid-19 yang menyerang sektor usaha, membuat sebagian besar perusahaan, dan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) yang dikelolah oleh masyarakat mengalami kerugian bahkan lebih buruknya memaksa sebagian dari mereka harus menggulung tikar. Dengan melihat itu semua, membuat pemerintah harus segera mengeluarkan kebijakan yang dapat meringankan beban kesulitan yang dirasakan oleh perusahaan, dan UMKM. Salah satu kebijakan pemerintah untuk meringankan beban disektor usaha adalah dengan dikeluarkannya kebijakan “Relaksasi Pajak”. Dilansir dari situs https://ekbis.sindonews.com/ “Kebijakan pemerintah yang melakukan relaksasi Pajak Penghasilan baik pekerja industri manufaktur (penghapusan PPh 21 selama enam bulan) ataupun pajak badan untuk industri manufaktur (pembebasan PPh Impor 22 dan diskon PPh 25 sebesar 30%)”, dengan adanya kebijakan relaksasi pajak dari pemerintah ini diharapkan dapat membantu meringankan beban yang dirasakan di beberapa sektor usaha, keringanan itu berupa kelonggaran administrasi, relaksasi withholding tax, hingga pembebasan pajak atas barang dan jasa tertentu, kebijakan relaksasi pajak di Indonesia ini juga umum digunakan di beberapa negara atau mengikuti tren global dimasa pandemi covid-19.

Perlu kita ketahui bersama bahwa kebijakan instrumen pajak pemerintah Indonesia saat ini, memang dapat dikatakan meringankan beban disektor usaha, namun juga akan berdampak negatif  terhadap penerimaan kas negara disektor pajak. Penerimaan kas negara disektor pajak akan mengalami penurunan yang sangat signifikan apabila penerapan kebijakan relaksasi pajak yang ditetapkan pemerintah terus berjalan, selama masa pandemi covid-19 ini belum menemui titik akhirnya, seperti yang dilansir dari https://news.ddtc.co.id/ yang mengatakan bahwa “Berdasarkan perubahan APBN 2020 (sesuai outlook pemerintah) yang tertuang dalam Peraturan Presiden No.54/2020, penerimaan pajak diprediksi akan mengalami penurunan 5,9% dibandingkan realisasi tahun 2019 atau sekitar Rp1254,1 triliun”.

Sementara itu, jika berkaca pada kinerja pajak kuartal pertama dan tren tahun-tahun sebelumnya, DDTC Fiscal Research juga menghasilkan prediksi sementara, yaitu berkisar antara Rp1.218,3 hingga Rp1223,2 triliun atau 97,2% hingga 97,6% dari outlook pemerintah. Dengan kata lain, kinerja penerimaan pajak tahun ini diestimasi tumbuh antara -8,5% hingga -8,2%. Bercermin dari data ini kita dapat simpulkan bahwa pertumbuhan penerimaan kas pajak kita akan mengalami minus sebagai akibat dari pandemi covid-19 yang menyerang sektor perekonomian dan menimbulkan beberapa sektor usaha dan UMKM mengalami kerugian dan pendapatan dari aktivitas usaha mereka juga akan mengalami penurunan, hal ini akan menyebabkan, kurangnya penyerapan penerimaan kas negara yang bersumber dari pajak penghasilan, ditambah lagi dengan kebijakan relaksasi pajak yang dikeluarkan pemerintah.

Untuk mengatasi permasalahan itu, pemerintah harus terus mendorong percepatan penanggulangan pandemi covid-19 di Indonesia, mengapa demikian, jika pandemi covid-19 di Indonesia telah berakhir, maka pemerintah dapat fokus untuk membenahi perekonomian Indonesia yang mengalami keterpurukan akibat wabah pandemi covid-19, selain dari itu kebijakan instrumen pajak pemerintah atau relaksasi pajak yang ditetapkan pemerintah akan secara bertahap berakhir, hal itu mungin akan dapat memperbaiki penerimaan kas pemerintah dari sektor pajak selama masa pemulihan ekonomi pasca pandemi covid-19.

Namun semua itu akan dapat terwujud dengan adanya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mendukung percepatan penanggulangan pandemi covid-19, seperti: Percepatan riset vaksin merah putih, New normal atau gaya hidup baru, lebih tepatnya beraktivitas dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, serta pemberian bantuan berupa BLT (Bantuan Langsung Tunai), serta keringanan untuk mendapatkan KUR (Kredit Usaha Rakyat). Itulah beberapa kebijakan-kebijakan pendukung selain dari instrumen pajak, yang dapat menjadi alternatif untuk mempercepat penanggulangan covid-19 di Indonesia dan untuk memulihkan perekonomian disektor usaha dengan memberikan bantuan keringanan kredit modal kepada masyarakat dan pengusaha.


Penulis : Ince Nur Akbar

INSENTIF PAJAK MOMENT MENYADARKAN MASYARAKAT TENTANG PENTINGNYA PAJAK

 

Insentif Pajak Moment Menyadarkan Masyarakat tentang Pentingnya Pajak

Kurniawati - Aqidah dan Filsafat Islam

Sejak diumumkannya 2 kasus pasien positif Covid 19 di Indonesia, pemerintah sudah berusaha keras untuk menekan penularan Coronavirus ini dengan berbagai cara, salah satunya yaitu dengan, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang membuat ekonomi melemah dan menurunkan pendapatan negara. Hingga pada 27 April 2020 ditetapkannya Kebijakan Insentif Pajak dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44 Tahun 2020.

Insentif pajak ini secara garis besar yaitu pemberian bonus bagi wajib pajak, jadi mereka hanya membayar beberapa persen dari yang seharusnya. Dilansir dari Direktorat Jenderal Pajak, pengertian dari Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, kartu wajib pajak ini berlaku bagi karyawan yang berpenghasilan 4,5 Juta keatas.

Lalu, apakah penggunaan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sudah berjalan sebagai mana mestinya? Apakah orang – orang yang memiliki kartu tersebut sudah tertib dalam membayar pajak ? sebelum adanya Coronavirus ? dari hasil survei saya yang mananyakan soal kartu NPWP ke sepuluh orang yang memiliki pekerjaan yang berbeda, namun 8 dari 10 orang saya survei dengan metode wawancara mengatakan bahwa mereka memiliki NPWP namun tidak membayar pajak, yang sudah seharusnya menjadi kewajiban mereka.

Lalu, masalah selanjutnya dana Insentif pajak yang direncanakan dialokasikan oleh pemerintah sebesar 20,4 Triliun. Namun saya melihat apakah hal semacam ini tidak malah menambah utang negara ? selain itu Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan Republik Indonesia mengatakan Realisasi Insentif pajak Covid 19 Baru sebesar 24,6%, ini artinya selama ini insentif pajak yang lakukan pemerintah belum terealisasikan dengan baik. Ini banyak menimbulkan pertanyaan dikepala saya bahwa apakah memang negara Indonesia ini sudah berjalan sesuai dengan UU dan Ideologi yang ada ?

Mengutip laporan Bank Dunia bertajuk International Debt Statistics 2021, utang luar negeri Indonesia sudah tembus US$ 402,08 miliar pada 2019. Utang tersebut membuat Indonesia masuk ke peringkat 6 negara berpendapatan rendah dan menengah dengan jumlah utang terbesar. Lantas apakah insentif pajak merupakan solusi pemulihan ekonomi atau akan menimbulkan masalah baru kedepannya ? atau apakah insentif pajak yang disebarkan ke berbagai sektor dan di perpanjang hingga bulan desember 2020 akan memberikan impact yang berbahaya bagi bangsa Indonesia kedepannya ? walaupun kita sudah tahu betul bahwa utang indonesia sudah ada sejak kita merdeka.

Jika melihat langsung pada lapangan dan menganalisis, saya melihat bahwa masih kurangnya kepedulian masyarakat dalam hal perpajakan ini, masyarakat tidak bisa melihat bahwa pajak merupakan instrumen demokrasi yang artinya dari rakyat untuk rakyat, agar kestabilan ekonomi negara juga berjalan baik, saya juga beranggapan bahwa tidak optimalnya penyebaran insentif pajak adalah karena memang masyarakat tidak sadar dengan pajak yang merupakan tanggungjawab mereka sebagai warga negara, jadi mereka merasa takut jika harus meminta insentif pajak padahal di tahun sebelumnya mereka tidak membayar pajak.

Kurangnya kesadaran dari masyarakat inilah yang akan menimbulkan impact yang berbahaya kedepannya, seperti utang Indonesia akan semakin meningkat dari tahun ketahun karena banyak masyarakat yang hanya menerima bantuan, tanpa sadar harus membayar pajak yang sebenarnya untuk mereka semua ketika kita di hadapkan oleh situasi seperti ini. Namun menurut saya ini juga merupakan hal yang wajar, karena saya sendiri sebelum belajar pajak secara otodidak saya pasti tidak mau mengeluarkan uang untuk negara, karena menganggap itu adalah tanggungjawab pemerintah.

Lantas sebagai mahasiswa milenial apa saja yang perlu kita lakukan agar bisa menyuarakan pajak sebagai instrumen dekmorasi ? tentunya yang pertama adalah sosialisasi, menurut kacamata saya insentif pajak ini adalah satu momen untuk menyadarkan masyarakat tentang pajak, karena jika melihat kondisi saat ini dimana kita harus tetap peduli juga dengan kesehatan namun ekonomi harus tetap stabil, sehingga setelah pandemi Covid 19 ini berlalu di harapkan masyarakat harus lebih paham lagi tentang perpajakan.

Diharapkan juga pemerintah untuk tidak bosan – bosannya untuk melakukan diskusi perpajakan agar masyarakat bisa lebih paham dan mengerti hingga bisa menjangkau seluruh kalangan masyarakat, selain itu yang paling penting juga adalah dari diri sendiri kita harus menjadi influencer untuk orang – orang sekitar, karena influencer itu bukan hanya untuk orang – orang yang dianggap terkenal namun setiap orang itu influencer dalam lingkaran bersosialnya baik itu dalam lingkaran keluarga, ataupun lingkaran pertemannya.

Jika sudah melihat begitu banyaknya masalah di Indonesia yang begitu kompleksnya kitapun harus mengambil langkah pasti dari sekarang mulai dari memperbaiki dan memberikan kesadaran terhadap masyarakat tentang berbagai aspek salah satunya tentang pajak agar ekonomi bangsa Indonesia bisa stabil kedepannya, pemerintah dan rakyat harusnya bekerja sama dalam membangun kepentingan bersama, karena Indonesia itu bukan hanya tentang presidennya atau menteri – menterinya, tetapi Indonesia itu tentang kita semua.


Penulis : Kurniawati

HARI INI GERIMIS

Hari ini tidak ada matahari Dari langit mulai turun gerombolan air  Memandang dari tirai jendela kamarku Mengamatinya… Ah, gerimis! Aku masi...