Senin, 01 Juni 2020

The Different Way


Cerpen : The Different Way
Karya Cindy Anggraeni

   Sebuah sapaan hangat ikut membuat hatiku menghangat. Meski bukan sapaan langsung melainkan melalui media pesan tapi tak mengurangi kehangatan yang perlahan menjalar kelubuk hati. Sesederhana itu dia membuatku bahagia.

   Aku memasukkan kembali ponsel ke dalam tas alih-alih ke saku celana. Itu membuatku kembali terbayang kejadian setahun silam, di mana aku kecopetan dan ponselku raib di tangan pejambret karena kuselipkan di saku celana. 

   Jam tangan biru yang melingkari pergelangan tanganku menunjukkan pukul 07.45 yang artinya sisa lima menit sebelum kelas dimulai. Untung saja aku sudah tiba di kelas kurang lebih sepuluh menit yang lalu dan aku tidak perlu berlarian sepanjang koridor kampus untuk mencapai kelas.
  
   Kelas sudah berakhir yang ditutup dengan sesi tanya jawab.

   Tidak seperti kebanyakan orang-orang yang sehabis kelas akan berhamburan dan bergerombolan keluar kelas bersama teman masing-masing. Aku memilih diam di kelas menanti pemateri selanjutnya ketimbang ikut keluar. Aku selalu seperti ini. Sendiri, tanpa teman. Salah satunya yang menghiburku adalah musik yang aku dengar dalam diam.

   Entahlah sendiri membuatku nyaman walau kadang jujur aku membutuhkan setidaknya seorang teman untuk membagi kisah ku, hariku tapi sejauh ini sulit mendapat teman yang betul-betul mengerti ku. Bahkan di kelas ini aku tidak memiliki teman yang betul-betul 'teman' dalam artian sesungguhnya. Aku mengenal mereka sebatas nama dan teman sekelas, tidak lebih dari itu.

   Dalam hidup ku tidak ada yang namanya teman jalan, teman curhat, teman menonton film favorite, atau sekedar teman makan di kantin. Tidak, aku tidak memiliki itu semua. Selama ini aku menjalaninya sendiri, benar-benar sendiri dan aku sudah menyatu sepertinya dalam kesendirian ini.

   Tapi, kedatangannya yang sudah tiga bulan ini perlahan memecahkan asumsiku tentang aku yang tak berguna, si introvert, aneh, dan aku sendiri tak pernah bangga dengan diriku. Tak pernah sedikitpun.

"Hey, ikut gue yuk."

   Tubuhnya yang menjulang menghalangi matahari seperti siluet di mataku. Rambutnya yang hitam nampak kecoklatan dan semakin bersinar ditimpa bias mentari.

"Mau kemana? Aku masih ada kelas."

"Astaga Nia, masih ada sejam eh lebih malah. Ini gak bakal buat elo telat," ucapnya melihat jam dipergelangan tangannya. "Ayo."

   Dia berjalan disampingku yang nampak menjulang tinggi, tubuhku seakan tenggelam olehnya. Kita sangat berbeda, sangat-sangat jauh perbedaannya. Aku si introvert yang jarang bahkan hampir tak pernah ada yang menyapa, sedangkan sekarang dia sepanjang berjalan melewati koridor  ada-ada saja yang menyapanya.

"Gimana tadi kelasnya, asik?"
Kepalanya menoleh sesekali melihatku, meski tak kubalas melihat.

Aku mengedikkan bahu. "Ya, gitu, biasa aja. Kamu gimana?"

   Ini dia lagi sisi yang beda antara aku dan dia. Aku si pendiam tak pernah membuka obrolan sebelum dia yang memulai. Ya, aku terlalu sekaku itu, dan aku akui.

"Jam sepuluh nanti baru ada kelas. Huh, mana si Pak Broto lagi. Hadeh."

   Aku sempat tertawa kecil melihatnya menahan kesal. Bagaimana tidak, aku tahu sekali dia itu adalah satu dari sekian mahasiswa yang paling malas mengikuti kelas Pak Broto. Alasannya? Pak Broto adalah dosen sekaligus pendongeng sejati. Topik yang seharusnya ia bahas akan jauh melenceng, malahan membahas masalah pribadi. 

"Ketawa lo ya, seneng banget lihat temannya menderita."

   Entah sejak kapan aku juga menganggapnya teman. Padahal tak ada yang menawari hubungan pertemanan diantara kita. 

   Tiba-tiba saja siang itu aku yang kebetulan mengerjakan tugas di taman kampus di hampirinya yang tanpa basa-basi mengajakku kenalan. Dia yang banyak bicara awalnya mengusikku yang ingin konsen terhadap tugas yang kutekuni, tapi lama-lama dia lucu juga dan cukup menghiburku. Siapa sangka dia yang kukira hanya iseng mengajak ngobrol, keesokan harinya dia lagi-lagi datang menemuiku menawarkan hari-hari yang harus kuakui perlahan berwarna dari sebelumnya.

"Maaf."

"Maaf diterima."

   Aku kembali melangkahkan kaki dan tak sadar sudah mencapai sebuah taman yang belum aku kunjungi sebelumnya. Aku meraih uluran tangannya melangkahi kubangan air yang lumayan besar. Dengan senyum dan ucapan terima kasihku ia balas dengan menyentuh kepalaku.

   Ia memberhentikan langkah di sebuah pohon dengan dudukan melingkar di bawahnya. Aku ikut duduk saat dia menepuk ruang disebelahnya. Tamannya tidak ramai, tapi tidak juga sepi. Ada sebuah kedai tak jauh dari kami yang menjual minuman dan makanan. Mataku tertubruk pada sebuah banner yang menuliskan kalimat ice cream besar-besar. Aku ingin es itu, tapi tidak cukup berani bilang padanya untuk membelinya. Apa aku harus membuka obrolan pertama kali.

"Ke sana yuk, beli es krim." See, dia selalu sadar denganku, dia benar-benar mengertiku mungkin lebih dari diriku sendiri.

   Aku memilih duduk sementara dia sudah berdiri mengantri es krim yang didahului seorang anak kecil. Mereka terlibat dalam sebuah percakapan yang tidak dapat aku dengar dari tempatku. Tapi yang jelas, mereka berdua tertawa membuat lengkungan sabit tercipta di matanya yang cenderung kecil.

   Ia kembali setelah membawa dua buah cup berukuran sedang berisi dua jenis sajian berbeda. Aku kira dia akan memesan es krim sepertiku, alih-alih memesan es krim, ia memilih hot chocolate di cuaca yang cenderung panas. Lagi, kita berbeda dalam hal selera. 

Ya, aku sangat tahu dia si penggila minuman coklat dan aku si penyuka es krim.

"Kalian cerita apa, kok sampai cekikikan begitu."

   Beri applause untukku karena kali pertama aku membuka obrolan setelah selama ini ia terus yang mencari topik.

"Oh itu. Jadi lo ngeliat, ya ampun, diperhatiin segitunya. Jadi, seneng," ucapnya belum menjawab pertanyaanku dan malah membuatku tersenyum malu.

"Adik itu namanya Cristin. Dia itu anak yang sering nyanyi di gereja tempat gue padus juga," lanjutnya.

Deg.

   Seperti ditarik dari kenyataan, aku terdiam seribu bahasa. Mengapa bisa aku lupa kalau ada yang lebih besar perbedaannya antara dia dan aku. Kalau dia beribadah setiap minggu di gereja maka masjid tempatku melakukannya . Bahkan, kita yang berbeda ini menyebut nama Tuhan dengan cara yang berbeda pula.

   Lalu, mataku beralih melihat buku jurnal yang ia bawa-bawa sedari tadi. Mataku tertubruk pada barisan kalimat disana 'Theodeore Steven Cristian'. Sesederhana itu dan aku sudah tahu itu berbeda. Apalagi, bandul kalung yang melingkari lehernya semakin menjelaskan kalau kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama selain sebatas teman. 

   Maka, sejak perasaan lain yang hadir dan aku tahu kalau hatiku memberi getaran lebih untuknya, aku sebisa mungkin menepisnya jauh. Deo, lelaki yang memberiku warna lebih hanya bisa menjadi Deo sebatas teman tidak lebih dari kata itu. Karena Deo, laki-laki yang kutahu sangat mencintai Tuhannya dan akupun begitu kepada Tuhanku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HARI INI GERIMIS

Hari ini tidak ada matahari Dari langit mulai turun gerombolan air  Memandang dari tirai jendela kamarku Mengamatinya… Ah, gerimis! Aku masi...