Berterimakasih Kepada Pandemi; Akhirnya Kita Mengerti Betapa
Memuakkannya Domestifikasi
Kerja Perempuan.
Ikhlasy A.Marhami - Sosiologi UH 2017 |
Munculnya
pandemi di Negeri kita beberapa bulan terakhir ini, sedikit banyak, berdampak pada berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Baik secara sosio-ekonomi, sosio-kultural, sosio-politik
atau aspek-aspek lainnya. Misalnya, bagaimana pandemi mempengaruhi pola
produksi dan konsumsi barang dan jasa pada masyarakat kita, atau bagaimana
pandemi mengubah cara pelaksanaan ritus-ritus keagaamaan di negara kita. Atau
bagaimana pandemi ini, mengubah persepsi masyarakat atas negara. Singkatnya
munculnya pandemi berpengaruh pada pola interaksi sehari-hari kita.
Namun
tulisan ini, tidak akan berbicara hal-hal berat dan rumit seperti demikian.
Tulisan ini tidak akan berusaha menjelaskan alasan mengapa Presiden kita, Jokowi,
bisa patuh mangut-mangut dihadapan Lord Luhut.
Atau mengapa kebijakan mengatasi pandemi antara satu kementrian dengan kementrian
yang lain bisa saling bertentangan satu sama lain. Atau kenapa bisa, Jerinx, yang
tatoan itu, bisa percaya dengan teori konspirasi. Sekali lagi maaf, tulisan in
tak akan berusaha menjawab hal rumit seperti yang demikian. Sebab bahasan
yang demikian, akan terlalu berat, untuk
otak hamba ini, yang hanya mendapatkan nilai E dalam mata kuliah matematika
ekonomi.
Oleh
sebab itu, tulisan ini hanya akan mengetengahkan hal yang sederhana. Hal yang
dekat dengan kehidupan kita, namun biasa luput dan terabaikan dari pandangan,
(seperti pengorbananku dihadapan doi,haks). Tulisan ini hanya akan mengetengahkan tentang
perempuan, yang jauh sebelum kita mengenal corona, ternyata sudah lama ‘dirumah
saja’-kan.
Kata
‘dirumah saja’, merupakan kata yang sudah tidak asing ditelinga kita,
setidaknya untuk beberapa bulan belakangan ini. Kata ini sering kita dengar,
baik ditelevisi, media sosial, media cetak, maupun keluar dari mulut
orang-orang terdekat kita.‘Dirumah saja’ merupakan ajakan untuk meminimalisir
terjadinya kontak langsung dengan orang lain, juga untuk menghindari
terciptanya kerumunan. Tujuannya adalah mengantisipasi penularan dan guna untuk
memotong rantai penyebaran virus, yang kian hari kian meningkat.
Barangkali
diawal, sebagian dari kita merasa senang dengan ajakan dirumah saja. Sebab
dirumah saja berarti bisa rebahan sepuasnya, tidak harus bermacet-macetan ke
kampus atau ketempat kerja. Namun, seiring berjalannya waktu, kita semua mulai
sadar bahwa dirumah saja dalam jangka
waktu yang panjang adalah membosankan, bahkan pada tingkatan tertentu, kondisi
ini bisa mempengaruhi kondisi psikologis kita. Mungkin karena itu pula,
beberapa kampus bahkan menyediakan layanan konsultasi psikologi gratis untuk
masyarakat saat pandemi.
Namun,
jutaan orang bahkan tidak menyadari (meminjam istilah Budi Setiawan dalam iklan
Binomo), bahwa aktivitas di rumah saja
untuk sebagian besar perempuan, merupakan aktivitas yang sudah lama terjadi,
bahkan sebelum pandemi menyerang. Konon katanya aktivitas ini sudah berusia
beribu-ribu tahun, melewati sekian purnama. Aktivitas yang sudah melewati
sekian purnama ini, dalam istilah yang lain, dibilangkan sebagai domestifikasi
kerja perempuan.
Domestifikasi
kerja perempuan sendiri bisa dimaknai sebagai pembagian kerja secara seksual,
dimana tugas perempuan adalah mengurus rana domestik (dapur, sumur, dan kasur). Domestifikasi ini lahir dari pandangan yang
menganggap bahwa peremuan tidak bisa memimpin, mengambil keputusan penting,
mengemban tugas-tugas besar, mencari nafkah, menjadi pelindung, tidak mampu
berpartisipasi dalam membangunan negara, serta berkontribusi dalam sektor
publik yang lebih luas (Gita Murnaisi,
dkk, 2018). Karena ketidak mampuan perempuan mengurusi sektor publik tersebut,
maka sektor publik diserahkan pada laki-laki yang dianggap lebih mampu; lebih
bisa melindungi, mengambil keputusan penting, memimpin, dsb. Karenanya dalam sistem
yang demikian, perempuan ‘dipaksa’ untuk
di rumah saja, guna mengurusi sektor domestik.
Konon
domestifikasi
kerja terhadap perempuan ini sudah berlangsung begitu lama. Arief Budiman
(1980) mengatakan, bahwa Angels dalam karyanya The Origin Of The Family, Private Proverty and The State, beranggapan
bahwa domestifikasi kerja ini sudah ada sejak dimulainya peradaban manusia. Mengacu
pada perkembangan masyarakat menurut Karl Marx, Angels melacak domestifikasi
kerja perempuan ini sudah ada sejak zaman berburu dan meramu, yang oleh Marx dibilangkan sebagai komunal-primitive.
Masyarakat
pada zaman tersebut, untuk kelangsungan hidup maka kerja harus dibagi dalam dua
bentuk, yakni berburu dan meramu makanan. Laki-laki diserahi tugas untuk
berburu dan perempuan meramu makanan. Namun mengapa perempuan yang diserahi
tugas untuk meramu makanan?. Sebab nyawa perempuan pada masa itu lebih penting
daripada
laki-laki. Arief Budiman mendaku bahwa pekerjaan berburu diserahkan kepada
laki-laki, sebab berburu lebih berbahaya daripada mencari makanan. Nyawa
pemburu bisa hilang setiap saat, dibunuh oleh binatang-binatang buas, atau oleh
orang-orang yang menjadi musuh kelompok mereka. Karenanya pada masa itu nyawa
wanita lebih penting daripada nyawa seorang laki-laki.
Lebih
lanjut, Arief Budiman menambahkan, bahwa Ernestine Friedel, seorang Antropolog,
beranggapan bahwa nyawa perempuan lebih penting dari laki-laki pada zaman itu,
dikarenankan bahwa pada masyrakat
primitif seperti itu manusia masih hidup dengan mengembara dalam
kelompok-kelompok kecil, karenanya bahaya yang paling besar adalah musnahnya
kelompok tersebut, karena anggota kelompok mati satu-satu. Oleh sebab itu, jumlah
kelompok harus diperbesar dengan melahirkan bayi-bayi baru.
Pada masyarakat
seperti ini belum terjadi ekploitasi yang disebabkan oleh pembagian kerja
secara seksual antara laki-laki dan perempuan, sebab memang sifat pembagian
kerja itu timbal balik. Dalam artian, bahwa masing-masing pihak mendapatkan
keuntungan dari adanya pembagian kerja ini, juga karena tidak ada kaum yang berkuasa dan mendapatkan
keuntungan materil karena posisinya.
Barulah
pada perkembangan masyarakat selanjutnya domestikasi kerja perempuan bersifat
ekploitatif. Zaman yang dalam perkembangan masyarakat menurut Marx, disebut
sebagai zaman perbudakan. Pada zaman ini teknologi sudah mulai berkembang. Jika
pada komunal-primitive
masyarakat berpindah-pindah tempat untuk
mencari makanan, pada zaman perbudakan ini manusia sudah mengenal bercocok
tanam dan bertani, sehinga manusia tidak lagi harus berpindah tempat untuk
mencari makanan. Karenanya pada zaman ini akumulasi kekayaan atau kepemilikan pribadi mulai
dikenal dan memungkinkan untuk terjadi.
Karena
pembagian kerja pada tahapan komunal-primitive,
laki-laki yang diserahi untuk mengurus alat-alat produksi, maka pada zaman
perbudakan ini, laki-laki dapat mengumpulkan kekayaan melalui beternak dan
bertani. Pengumpulan kekayaan ini yang kemudian digunakan oleh kaum laki laki
untuk mondominasi kaum perempuan.
Kondisi yang demikian dibilangkan oleh Angels sebagai kekalahan terbesar
kaum perempuan dalam sejarah umat manusia.
Implikasi
dari kekelahan tersebut ialah perempuan kehilangan kemandiriannya. Terutama
dalam masyarakat kapitalistik, dimana kerja dilihat bukan hanya memiliki nilai
guna semata, melainkan juga harus punya nilai tukar. Karenanya kerja yang hanya
menghasilkan nilai guna semata dan tidak menghasilkan niali tukar (tidak
menghasilkan uang), dianggap bukan kerja
produktif, atau lebih parah, dianggap bukan kerja itu sendiri. Karena kerja
domsetik perempuan tersebut tidak menghasilkan nilai tukar, dianggap bukan
kerja karena tidak produktif, maka kerja perempuan tidak dianggap atau tidak
terlihat. Dampak dari kerja perempuan yang ‘tidak terlihat’ itu,
adalahperempuan kemudian bergantung kepada laki-laki secara ekonomis.
Lebih
lanjut, dampak dari domestifikasi kerja perempuan ini tidak hanya menyebabkan hilangnya kemandirian perempuan,
terutama dalam ekonomi, namun juga menyebabkan pengerdilan potensi perempuan
sebagai manusia. Wanita seakan-akan
dipenjarakan di suatu dunia yang tidak merangsang perkembangan kepribadiannya,
sebab mereka hanya mengerjakan pekerjaan yang itu-itu saja setiap hari, diulang
jutaan kali. Teman-temannya serba terbatas, dan hidupnya kebanyakan dilewati
bersama anak-anaknya (Arief Budiman,1980: 5).
Domestifikasi
kerja yang membuat perempuan tegantung secara ekonomis kepada laki-laki dan
potensinya dikerdilkan, adalah kerja yang bukan hanya memberi beban cecara
fisik, namun juga menekan psikis. Kondisi kerja yang demikian adalah kerja yang
sangat berat lagi merugikan bagi perempuan. Lantas masih pantaskah kita memandang
kerja domestik yang sekarang dilakoni perempuan sebagai sesuatu yang
remeh-temeh, cetek, mudah dan tidak memerlukan tenaga yang besar, sehingaa selalu
dipandang sebelah mata?.
Jika
berdiam diri dirumah seperti yang kita lakukan sekarang ini sudah membuat kita
bosan dan tertekan, bisakah kita membayangkan bagimana kebosanan dan tekanan
yang dirasakan perempuan yang hampir semua masa hidupnya di habiskan dirumah?. Jika berdiam diri dirumah seperti sekarang
ini kita sebut membosankan, lantas kata apa yang bisa dipakai untuk menggambarkan
perasaan jenuh perempuan yang terpapar domestifikasi kerja?. Memuakkan.
Oleh
sebab, terlepas dari banyaknya nyawa saudara kita yang melayang karena pandemi
ini (tentu kita semua berduka mengenai itu). Penulis beranggapan, bahwa kita
juga musti banyak mengucap teimakasih pada pandemi ini, sebab berkatnya kita
bisa lebih mengerti lagi bagaimana memuakkannya domsetifikasi kerja yang
dialami perempuan.