Kamis, 13 Agustus 2020

Popularitas dan Bertuhan Materi

POPULARITAS DAN BERTUHAN MATERI


Tak Bisa ditepis lagi, perkembangan teknologi informasi telah berkembang pesat membawa perubahan yang cepat di seluruh lini kehidupan. Mempengaruhi bahkan mengubah wajah kehidupan di semua sektor, Baik Ekonomi, Politik, Sosial dan Budaya serta sektor Lainnya yang cukup banyak jumlahnya.

Terlebih lagi tentang gaya hidup, popularitas, hingga moral. Semua, sudah mengalami transformasi teknologi, namun cukup disayangkan bukannya mengarah kepada kemajuan justru membawa kepada kemerosotan moral yang sangat memprihatinkan.

Saya akan membawa kalian menganalisis, melatih otak dan akal untuk sedikit bermain kata-kata.

Di zaman media sosial seperti ini, masihkah harga diri dinilai begitu penting???

"Popularitas dan Bertuhan Materi"

Dua kata yang menjadi dasar pemicu keterpurukan akhlak.

Coba kita berpikir tentang tingkah mahluk yang menamakan dirinya "manusia" di era sekarang ini.

Ada sebagian orang rela "bunuh diri" demi mencari popularitas di media maya. Saya menggunakan kata bunuh diri disini untuk melukiskan perbuatan buruk manusia yang menjerat dirinya dalam labirin masalah.

Pertama, ada orang yang rela menjual harga diri, menyebar ujaran kebencian dan berita bohong, bertindak asusila bahkan mempertontonkan pelecehan seksual, demi Apa???. Demi mendapat respon "manusia dangkal berpikir" untuk dijadikan fasilitas popularitas terutama di media sosial. Tujuannya Apa???  Tujuannya untuk mengalirkan rezeki materialis berlabel "Uang".

Kedua, ada orang yang mencoba menggunakan latar belakang "Agama, Nabi, dan Tuhan" untuk menarik simpati orang-orang yang malas berpikir. Memanfaatkan masyarakat Awam sebagai target untuk bertindak bodoh. Mereka senang melihat perdebatan, permusuhan, bahkan pembunuhan sesama umat "Toleransi", hanya dengan sepenggal kata ataupun Perbuatan yang sifatnya menista.

Tujuannya Apa...???

Lagi-lagi untuk popularitas dan materi.

Lalu bagaimana sikap kita sebagai mahasiswa yang menamakan dirinya "kritis"? Apakah kita tinggal diam saja? Ataukah ikut mengambil bagian dengan manjadi fasilitas popularitas?, ataukah mencari solusi menyadarkan orang-orang yang telah terjangkit penyakit "cinta dunia " yang sangat berbahaya ini???

Itu semua tergantung bagaimana kita memilih untuk melakukan apa dan menjadi siapa. Namun, saya sendiri menanamkan prisnsip seperti ini:

Orang yang mencari popularitas dan materi di media sosial dengan cara yang menurut kesepakatan adalah " cara tidak baik" seperti perbuatan yang sudah saya sebutkan di atas. Bisa kita cegah, Cukup dengan memutus mata rantainya. Mereka akan merasa berjaya ketika memiliki banyak respon, semakin orang tertarik dengan perilaku buruknya semakin Dia merasa telah menuai kemenangan. Semakin banyak orang yang membagikan postingan "buruknya" maka semakin populer(viral)lah Dia.

Maka dari itu nalar kritis kita mengolah informasi di media sosial menjadi begitu penting, ingatlah Allah sudah berjanji tak akan ada orang yang mencoba melawan dan melecehkan agama Allah melainkan dia akan menuju jurang kebinasaan.

Harga dirimu di mata Allah jauh lebih penting dari popularitasmu di mata Manusia.

Minggu, 09 Agustus 2020

Puisi : Bertani rindu diladang semu

 

BERTANI RINDU DI LADANG SEMU


saat awan sungkan menampakkan rembulan,

ada tangis bersembunyi di pekatnya malam

riuh tahlil kian menyiratkan kesunyian,

Memaksa kisah segera dikhatamkan

 

Jari bergetar tubuh gemetar

hening berkoar angin menampar

pelayat bergilir memadati selasar

menepuki Pundak memaksaku tegar

 

Tahan sebentar.. 

Izinkan waktu memulihkan tubuh yang gemetar

Menyisih dari ramai, menyusuri jenggala memori

Menatap kejamnya hujan meninggalkan awan

Menjatuhkan rintik membasahi rerumputan

 

Biarlah..

Biarlah azalea liar merambat

Menebar sabar mengenalkan 

bahasa ikhlas yang amat hangat

Hembusan lembut mengusik khayalku, 

mengusir bayangmu

Oh kejamnya rindu di ladang semu

 

Jika Bertani rindu yang berharap temu, 

ini bukan ladangmu!

Kawanku telah nyenyak 

dalam peniduran akhir yang sudah tentu

Pijakan tak lagi kokoh dengan raga lesu 

dan tatap ambigu

Senyum tak lagi kuasa menirai 

perihnya sayatan sembilu

Tak siap dengan belantara rindu 

yang enggan beranjak dari kalbu

 

Aku tahu ….

tak pantas pilu mengiring ragamu yang riang

Bait rindu selalu kuselipkan

Di kafilah doa yang terus kulangitkan

Bentala kan menyambutmu 

diperutnya yang lapang

Selamat jalan kawan.. dariku yang ditinggalkan


Karya : Indah, Sulawesi Barat

Jumat, 07 Agustus 2020

PATRIARKI DAN KONDISI KRISIS PEREMPUAN

 

PATRIARKI DAN KONDISI KRISIS PEREMPUAN

Yasmirati - Akuntansi 019

"Ini harus dihentikan !!

Pemerkosaan

Pelecehan

Kekerasan

Pembunuhan

Korbannya adalah Perempuan

Ini bukan salahku

Bukan Salah pakaianku

Ini Salah otakmu

mulut mu & patriarki?

Kutipan di atas menggambarkan luapan emosi perlawanan terhadap berbagai kekerasan terhadap perempuan. Seperti yang kita ketahui, dalam berbagai fenomena permasalahan sosial di Indonesia, perempuan selalu mendapat jatah perlakuan berlebihan dibandingkan dengan laki-laki. Ya, inilah bentuk representasi ideologi yang bernama patriarki.

Alfian Rokhmansyah (2013) dalam bukunya berjudul Pengantar Gender dan Femisime, menyatakan “patriarki berasal dari kata patriarkat, yang berarti struktur yang menempatkan posisi dan peranan laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dan segala-galanya.” Patriarki secara umum didefinisikan sebagai sebuah sistem dimana otoritas kekuasaan dan kewenangan dalam sebuah tatanan sosial didominasi oleh laki-laki sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh.

Jika kita menelisik kehidupan sosial perempuan di Indonesia, budaya patriarki ini  begitu melekat dalam budaya kehidupan sosial masyarakat. Hal ini dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan seperti, ekonomi, politik, hukum bahkan pendidikan sekalipun. Akibatnya perempuan masih sering mengalami perlakuan yang tidak senonoh seperti yang sering kita temukan yaitu pemerkosaan, pelecehan, kekerasan dan pembunuhan terhadap perempuan. Hal itu juga tak lepas bagaimana pendidikan sejak dini terhadap perempuan, pada benak mereka telah ditanamkan dogma bahwa urusan dan kegiatan perempuan tak boleh keluar dari ranah domestik.

Kekerasan terhadap perempuan tidak dapat dipisahkan dengan budaya patriarki yang masih ada di masyarakat. Budaya patriarki yang memandang perempuan sebagai objek semata juga dapat mendorong lai-laki melakukan kekerasan, menganggap perempuan sebagai kaum lemah dan tidak berdaya. Hal ini Menjadikan budaya partriarki yang susah untuk dihilangkan.

Sebut saja Catcalling misalnya, tindakan yang tidak jarang ditemui dilakukan oleh laki-laki dengan menggoda perempuan atau memanggil dengan tendensi seksual, biasanya berupa siulan ataupun komentar. Hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan pada diri perempuan.

Dampaknya korban takut untuk berjalan di keramaian, menjadi tidak percaya diri (parno) saat melihat sekumpulan laki-laki atau bahkan sampai berbalik arah untuk menghindarinya. Perasaan waswas dengan tindakan diskriminasi yang kemungkinan terjadi jika keluar rumah seorang diri. Belum lagi perempuan yang keluar malam sendirian dianggap sebgai perempuan yang tidak baik-baik. Padahal penelitian menunjukkan kekerasan terhadap perempuan lebih banyak terjadi disiang hari. Dari disinilah muncul rasa titik lemah perempuan dikarena subordinasi perempuan yang berlebihan di tengah masyarakat.

Ada ketimpangan relasi sosial antara perempuan dan laki laki, dimana laki laki merasa memiliki kuasa dan superior berlebihan atas tubuh dan tindakan perempuan. Perempuan selalu menjadi korban monster patriarki.

Selain itu perempuan dibatasi dengan lingkup yang sederhana, peran perempuan hanya boleh berada di ranah bidang domestik. Perempuan sebagai seorang istri menjadi korban dari laiki-laki dalam menjalani kehidupan rumah tangga yang tidak setara pun dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Perempuan tidak lebih sebagai parasit dalam kehidupan rumah tangga. Untuk apa perempuan dididik? Disekolahkan tinggi tinggi oleh orang tuanya jikalau selepas menikah dia hanya berpacu pada lingkup domestik saja. Padahal di bidang pendidikan perempuan mengalami peningkatan akses dan kualitas pendidikan yang setara dengan laki laki.

Jika merujuk pada sejarah, memang peran perempuan sejak dahulu lebih dominan pada pekerjaan domestik, sedangkan laki laki yang keluar rumah mencari pundi pundi uang. Tetapi itu semua akan berbeda jika kita kembali mengingat sejarah R.A Kartini sang pahlawan perempuan yang berjuang untuk emansipasi wanita.

RA. Kartini dikenal sebagai wanita yang mempelopori kesetaraan derajat antara perempuan dan laki laki di Indonesia. Hal ini dimulai ketika Kartini merasakan banyaknya diskriminasi yang terjadi antara laki laki dan perempuan pada masa itu, dimana beberapa perempuan sama sekali tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan.

Sekarang? Istri yang tidak menjalankan perintah suami mendapatkan perlakuan yang tak senonoh seperti KDRT dan kekerasan seksual. Itu terjadi akibat pengaruh budaya patriarki yang cenderung memiliki keleluasan untuk melakukan apapun terhadap perempuan. Hal ini juga yang menyebabkan tingginya angka pelecehan seksual di Indonesia.

Tercatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari 421.752 kasus bersumber dari data kasus/perkara yang ditangani Pengadilan Agama, 14.719 kasus yang ditangani lembaga mitra Pengada Layanan yang tersebar di sepertiga provinsi di Indonesia dan 1.419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR). Dari 1.419 pengaduan tersebut, 1.277 merupakan kasus berbasis gender dan tidak berbasis gender 142 kasus.

Tanpa disadar data di atas  menunjukkan bahwa penyebab utamanya adalah pikiran yang patriarkis. Pertanyaan mendasarnya adalah mengapa perempuan yang selalu menjadi korban?

Pembagian peran gender ini dikatakan memang dibentuk dengan tujuan melindungi perempuan, agar perempuan tidak susah payah lagi mencari nafkah dan fokus melayani suaminya saja. Anggapan bahwa dengan keluar dari wilayah domestik kemudian beralih ke ruang publik malah dianggap sebgai bentuk eksploitasi terhadap perempuan.

Itulah mengapa perempuan selalu dianggap lemah! Padahal sudah banyak bentuk perlawanan yang telah dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan untuk memperoleh pendidikan dan peluang kerja.

Inilah mengapa para feminisme mendukung keras agar DPR RI segera mengesahkan RUU penghapusan kekerasan sexual (PKS). Sebab nyatanya merekalah yang menjadi korban utama. Perempuan harus turun tangan untuk melawan patriarki, perempuan harus memberikan suaranya, dan aksinya

HARI INI GERIMIS

Hari ini tidak ada matahari Dari langit mulai turun gerombolan air  Memandang dari tirai jendela kamarku Mengamatinya… Ah, gerimis! Aku masi...