Sabtu, 30 Mei 2020

Berterimakasih Kepada Pandemi


Berterimakasih Kepada Pandemi; Akhirnya Kita Mengerti Betapa Memuakkannya Domestifikasi Kerja Perempuan.

Ikhlasy A.Marhami - Sosiologi UH 2017

Munculnya pandemi di Negeri kita beberapa bulan terakhir ini,  sedikit banyak, berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Baik secara sosio-ekonomi, sosio-kultural, sosio-politik atau aspek-aspek lainnya. Misalnya, bagaimana pandemi mempengaruhi pola produksi dan konsumsi barang dan jasa pada masyarakat kita, atau bagaimana pandemi mengubah cara pelaksanaan ritus-ritus keagaamaan di negara kita. Atau bagaimana pandemi ini, mengubah persepsi masyarakat atas negara. Singkatnya munculnya pandemi berpengaruh pada pola interaksi sehari-hari kita.

Namun tulisan ini, tidak akan berbicara hal-hal berat dan rumit seperti demikian. Tulisan ini tidak akan berusaha menjelaskan alasan mengapa Presiden kita, Jokowi, bisa patuh mangut-mangut dihadapan Lord Luhut. Atau mengapa kebijakan mengatasi pandemi antara satu kementrian dengan kementrian yang lain bisa saling bertentangan satu sama lain. Atau kenapa bisa, Jerinx, yang tatoan itu, bisa percaya dengan teori konspirasi. Sekali lagi maaf, tulisan in tak akan berusaha menjawab hal rumit seperti yang demikian. Sebab bahasan yang  demikian, akan terlalu berat, untuk otak hamba ini, yang hanya mendapatkan nilai E dalam mata kuliah matematika ekonomi.

Oleh sebab itu, tulisan ini hanya akan mengetengahkan hal yang sederhana. Hal yang dekat dengan kehidupan kita, namun biasa luput dan terabaikan dari pandangan, (seperti pengorbananku dihadapan doi,haks).  Tulisan ini hanya akan mengetengahkan tentang perempuan, yang jauh sebelum kita mengenal corona, ternyata sudah lama ‘dirumah saja’-kan.

Kata ‘dirumah saja’, merupakan kata yang sudah tidak asing ditelinga kita, setidaknya untuk beberapa bulan belakangan ini. Kata ini sering kita dengar, baik ditelevisi, media sosial, media cetak, maupun keluar dari mulut orang-orang terdekat kita.‘Dirumah saja’ merupakan ajakan untuk meminimalisir terjadinya kontak langsung dengan orang lain, juga untuk menghindari terciptanya kerumunan. Tujuannya adalah mengantisipasi penularan dan guna untuk memotong rantai penyebaran virus, yang kian hari kian meningkat.

Barangkali diawal, sebagian dari kita merasa senang dengan ajakan dirumah saja. Sebab dirumah saja berarti bisa rebahan sepuasnya, tidak harus bermacet-macetan ke kampus atau ketempat kerja. Namun, seiring berjalannya waktu, kita semua mulai sadar bahwa dirumah saja  dalam jangka waktu yang panjang adalah membosankan, bahkan pada tingkatan tertentu, kondisi ini bisa mempengaruhi kondisi psikologis kita. Mungkin karena itu pula, beberapa kampus bahkan menyediakan layanan konsultasi psikologi gratis untuk masyarakat saat pandemi.

Namun, jutaan orang bahkan tidak menyadari (meminjam istilah Budi Setiawan dalam iklan Binomo),  bahwa aktivitas di rumah saja untuk sebagian besar perempuan, merupakan aktivitas yang sudah lama terjadi, bahkan sebelum pandemi menyerang. Konon katanya aktivitas ini sudah berusia beribu-ribu tahun, melewati sekian purnama. Aktivitas yang sudah melewati sekian purnama ini, dalam istilah yang lain, dibilangkan sebagai domestifikasi kerja perempuan.

Domestifikasi kerja perempuan sendiri bisa dimaknai sebagai pembagian kerja secara seksual, dimana tugas perempuan adalah mengurus rana domestik (dapur, sumur, dan kasur).   Domestifikasi ini lahir dari pandangan yang menganggap bahwa peremuan tidak bisa memimpin, mengambil keputusan penting, mengemban tugas-tugas besar, mencari nafkah, menjadi pelindung, tidak mampu berpartisipasi dalam membangunan negara, serta berkontribusi dalam sektor publik yang lebih luas  (Gita Murnaisi, dkk, 2018). Karena ketidak mampuan perempuan mengurusi sektor publik tersebut, maka sektor publik diserahkan pada laki-laki yang dianggap lebih mampu; lebih bisa melindungi, mengambil keputusan penting, memimpin, dsb. Karenanya dalam sistem  yang demikian, perempuan ‘dipaksa’ untuk di rumah saja, guna mengurusi sektor domestik.

Konon domestifikasi kerja terhadap perempuan ini sudah berlangsung begitu lama. Arief Budiman (1980) mengatakan, bahwa Angels dalam karyanya The Origin Of The Family, Private Proverty and The State, beranggapan bahwa domestifikasi kerja ini sudah ada sejak dimulainya peradaban manusia. Mengacu pada perkembangan masyarakat menurut Karl Marx, Angels melacak domestifikasi kerja perempuan ini sudah ada sejak zaman berburu dan meramu,  yang oleh Marx dibilangkan sebagai  komunal-primitive.

Masyarakat pada zaman tersebut, untuk kelangsungan hidup maka kerja harus dibagi dalam dua bentuk, yakni berburu dan meramu makanan. Laki-laki diserahi tugas untuk berburu dan perempuan meramu makanan. Namun mengapa perempuan yang diserahi tugas untuk meramu makanan?. Sebab nyawa perempuan pada masa itu lebih penting daripada laki-laki. Arief Budiman mendaku bahwa pekerjaan berburu diserahkan kepada laki-laki, sebab berburu lebih berbahaya daripada mencari makanan. Nyawa pemburu bisa hilang setiap saat, dibunuh oleh binatang-binatang buas, atau oleh orang-orang yang menjadi musuh kelompok mereka. Karenanya pada masa itu nyawa wanita lebih penting daripada nyawa seorang laki-laki.

Lebih lanjut, Arief Budiman menambahkan, bahwa Ernestine Friedel, seorang Antropolog, beranggapan bahwa nyawa perempuan lebih penting dari laki-laki pada zaman itu, dikarenankan  bahwa pada masyrakat primitif seperti itu manusia masih hidup dengan mengembara dalam kelompok-kelompok kecil, karenanya bahaya yang paling besar adalah musnahnya kelompok tersebut, karena anggota kelompok mati satu-satu. Oleh sebab itu, jumlah kelompok harus diperbesar dengan melahirkan bayi-bayi baru.

Pada masyarakat seperti ini belum terjadi ekploitasi yang disebabkan oleh pembagian kerja secara seksual antara laki-laki dan perempuan, sebab memang sifat pembagian kerja itu timbal balik. Dalam artian, bahwa masing-masing pihak mendapatkan keuntungan dari adanya pembagian kerja ini, juga karena  tidak ada kaum yang berkuasa dan mendapatkan keuntungan materil karena posisinya.

Barulah pada perkembangan masyarakat selanjutnya domestikasi kerja perempuan bersifat ekploitatif. Zaman yang dalam perkembangan masyarakat menurut Marx, disebut sebagai zaman perbudakan. Pada zaman ini teknologi sudah mulai berkembang. Jika pada komunal-primitive masyarakat  berpindah-pindah tempat untuk mencari makanan, pada zaman perbudakan ini manusia sudah mengenal bercocok tanam dan bertani, sehinga manusia tidak lagi harus berpindah tempat untuk mencari makanan. Karenanya pada zaman ini akumulasi kekayaan atau kepemilikan pribadi mulai dikenal dan memungkinkan untuk terjadi.

Karena pembagian kerja pada tahapan komunal-primitive, laki-laki yang diserahi untuk mengurus alat-alat produksi, maka pada zaman perbudakan ini, laki-laki dapat mengumpulkan kekayaan melalui beternak dan bertani. Pengumpulan kekayaan ini yang kemudian digunakan oleh kaum laki laki untuk mondominasi kaum perempuan.  Kondisi yang demikian dibilangkan oleh Angels sebagai kekalahan terbesar kaum perempuan dalam sejarah umat manusia.

Implikasi dari kekelahan tersebut ialah perempuan kehilangan kemandiriannya. Terutama dalam masyarakat kapitalistik, dimana kerja dilihat bukan hanya memiliki nilai guna semata, melainkan juga harus punya nilai tukar. Karenanya kerja yang hanya menghasilkan nilai guna semata dan tidak menghasilkan niali tukar (tidak menghasilkan uang),  dianggap bukan kerja produktif, atau lebih parah, dianggap bukan kerja itu sendiri. Karena kerja domsetik perempuan tersebut tidak menghasilkan nilai tukar, dianggap bukan kerja karena tidak produktif, maka kerja perempuan tidak dianggap atau tidak terlihat. Dampak dari kerja perempuan yang ‘tidak terlihat’ itu, adalahperempuan kemudian bergantung kepada laki-laki secara ekonomis.

Lebih lanjut, dampak dari domestifikasi kerja perempuan ini tidak hanya  menyebabkan hilangnya kemandirian perempuan, terutama dalam ekonomi, namun juga menyebabkan pengerdilan potensi perempuan sebagai manusia. Wanita  seakan-akan dipenjarakan di suatu dunia yang tidak merangsang perkembangan kepribadiannya, sebab mereka hanya mengerjakan pekerjaan yang itu-itu saja setiap hari, diulang jutaan kali. Teman-temannya serba terbatas, dan hidupnya kebanyakan dilewati bersama anak-anaknya (Arief Budiman,1980: 5).

Domestifikasi kerja yang membuat perempuan tegantung secara ekonomis kepada laki-laki dan potensinya dikerdilkan, adalah kerja yang bukan hanya memberi beban cecara fisik, namun juga menekan psikis. Kondisi kerja yang demikian adalah kerja yang sangat berat lagi merugikan bagi perempuan. Lantas masih pantaskah kita memandang kerja domestik yang sekarang dilakoni perempuan sebagai sesuatu yang remeh-temeh, cetek, mudah dan tidak memerlukan tenaga yang besar, sehingaa selalu dipandang sebelah mata?.

Jika berdiam diri dirumah seperti yang kita lakukan sekarang ini sudah membuat kita bosan dan tertekan, bisakah kita membayangkan bagimana kebosanan dan tekanan yang dirasakan perempuan yang hampir semua masa hidupnya di habiskan dirumah?.  Jika berdiam diri dirumah seperti sekarang ini kita sebut membosankan, lantas kata apa yang bisa dipakai untuk menggambarkan perasaan jenuh perempuan yang terpapar domestifikasi kerja?.  Memuakkan.

Oleh sebab, terlepas dari banyaknya nyawa saudara kita yang melayang karena pandemi ini (tentu kita semua berduka mengenai itu). Penulis beranggapan, bahwa kita juga musti banyak mengucap teimakasih pada pandemi ini, sebab berkatnya kita bisa lebih mengerti lagi bagaimana memuakkannya domsetifikasi kerja yang dialami perempuan.


Penulis : Ikhlasy A.Marhami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HARI INI GERIMIS

Hari ini tidak ada matahari Dari langit mulai turun gerombolan air  Memandang dari tirai jendela kamarku Mengamatinya… Ah, gerimis! Aku masi...