BAGAIMANA FLEKSIBILITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH DI INDONESIA SAAT INI?
Dian
Magfira-Akuntansi 019
Saat ini masyarakat kembali dikejutkan oleh isu terhadap
kebijakan Pemerintah RI terkait kenaikan tarif BPJS kesehatan yang terbit pada
selasa (12/5/20) lalu, yang berlangsung di tengah merebaknya Pandemi Covid-19.
Sebelumnya Pemerintah telah
menetapkan kebijakan kenaikan tarif BPJS yang tertuang dalam "Perpres
Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas peraturan presiden Nomor 82 Tahun
2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24
Oktober 2019 oleh
Presiden
Joko Widodo.
Namun, kebijakan tersebut kemudian
dibatalkan oleh Mahkamah
Agung. "Dalam putusan tersebut Mahkamah Agung secara tegas membatalkan isi Pasal 4 ayat (1) dan (2)
tentang kenaikan tarif iuran BPJS
kesehatan".
Tak lama setelah kebijakan tersebut
dibatalkan oleh Mahkamah
Agung,
pemerintah kembali menerbitkan " Peraturan presiden Nomor 64 Tahun 2020
tentang perubahan kedua atas peraturan presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang
jaminan kesehatan". Isi Perpres
tersebut adalah kenaikan iuran BPJS kesehatan mulai Juli 2020.
Sepertinya pemerintah saat ini tidak
melihat kondisi masyarakat akibat Pandemi Covid-19. Masyarakat kini mengalami
krisis ekonomi ditambah lagi isu kenaikan tarif BPJS kesehatan yang dikeluarkan
oleh pemerintah.
Menurut saya "Seharusnya
pemerintah fokus dalam penanganan kasus Covid-19 yang menjadi beban masyarakat
saat ini, tapi pemerintah malah sebaliknya, mengeluarkan suatu kebijakan yang
sebenarnya telah menambah beban masyarakat oleh Peraturan presiden Nomor 64
Tahun 2020".
Tidak hanya sampai pada persoalan
BPJS kesehatan, saat ini pemerintah kembali menetapkan kebijakan yang dianggap
kurang transparan dalam pembahasannya yaitu
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang resmi
disahkan menjadi Undang-Undang (UU) pada sidang Paripurna DPR-RI lalu, Selasa
(12/5/2020).
Ada Beberapa Pasal
yang tertuang dalam RUU Minerba yang menuai polemik dalam masyarakat yang akan
saya bahas, dua diantaranya adalah Pertama
Pasal 169A yang mengatur tentang perpanjangan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian
Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), sebagaimana yang dimaksud pada
pasal tersebut diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK (Izin Usaha
Pertambangan Khusus) sebagai kelanjutan
Operasi Kontrak/Perjanjian. Dengan adanya aturan tersebut, pengusaha tambang
dapat memperpanjang KK dan PKP2B tanpa perlu melakukan prosesi lelang, pemegang
KK dan PKP2B yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan 2 kali
perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), masing-masing
paling lama selama 10 tahun.
Sehingga dengan adanya jaminan
perizinan tersebut akan banyak korporasi yang akan melakukan perpanjangan
perizinan yang baru. Salah satunya adalah PT Adaro yang akan melakukan
perpanjang di awal tahun, selama 20 tahun kedepan dan itu merupakan haknya
karna sesuai dengan UU Minerba yang baru.
Oleh sebab itu saya menganggap bahwa
"UU Minerba yang baru ini lebih menguntungkan pada satu pihak saja, tanpa
mengakomodasi sedikitpun dampak operasi pertambangan bagi lingkungan dan
masyarakat. Sehingga degradasi alam terus terjadi dan memberikan peluang bagi
perusahaan untuk tidak menyelesaikan reklamasi dari hasil penggalian lubang
Batubara".
Kedua, pasal 162 dan 164 UU Minerba dianggap dapat mengkriminalisasikan
masyarakat yang melakukan penolakan terhadap kegiatan pertambangan. Pasal 162
menyatakan bahwa "setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan
pertambangan dari pemegang IUP,IUPK dan IPR yang telah memenuhi syarat
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2), dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1(satu) tahun atau denda paling banyak 100.000.000,00
(Seratus juta rupiah). Sedangkan pada pasal 164 mengatur tentang penambahan
sanksi tambahan bagi orang yang dimaksud dalam Pasal 162.
Sedikit kita menyinggung tentang
penghapusan Pasal 165 Minerba, yang mengatur dan membahas mengenai sanksi bagi
pihak yang memberikan IUP,IPR atau IUPK yang bertentangan dengan UU Minerba.
Artinya rancangan ini lagi-lagi membuka peluang timbulnya tindakan Korupsi
dalam proses pengeluaran perizinan, karena Undang-Undang tentang pemberian
sanksi itu kemudian dinegasikan. Dimana pada UU Minerba yang lama mengatur
tentang pemberian sanksi yaitu di penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak 200.000.000,00 (Dua ratus juta rupiah) dan Pasal ini juga dapat
mencegah terjadinya tindakan Korupsi,Kolusi dan Nepotisme(KKN) dalam hal
perizinan.
Jadi jelas bahwasanya " RUU
Minerba yang telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) sangat tidak wajar,
apalagi proses penyelesaiannya terbilang cepat dan di samping itu banyak menuai
polemik serta mengakomodasi kepentingan korporasi yang akan beroperasi di Indonesia.
Oleh karna itu, saya menganggap
bahwa "Di tengah Pandemi Covid-19 yang menjadi persoalan umum saat
ini, dimana kebijakan pemerintah serta kontribusi ekonomi itu
sangat dibutuhkan bagi kalangan masyarakat, khususnya kalang tidak mampu/ yang
membutuhkan. Namun saat ini saya melihat bahwa pemerintah kurang bijak dalam
mengatasi kasus ini, dikarenakan banyak kontribusi yang dibagikan oleh
pemerintah daerah itu tidak merata, seharusnya inilah yang kemudian menjadi
suatu persoalan yang harus ditangani oleh pemerintah. Tapi, saat ini pemerintah
malah sibuk-sibuknya menyelesaikan pembahasan dan mensahkan suatu Rancangan
Undang-Undang yang sampai saat ini masih menjadi kontroversi dan beban bagi
kalangan masyarakat luas.
Apakah pemerintah memanfaatkan
situasi saat ini dalam upaya mensahkan RUU? ataukah pemerintah ingin agar pembahasan ini dilakukan secara tertutup?
agar proses pembahasan RUU itu kemudian
tidak menuai hambatan atau demonstrasi dari beberapa kalangan, utamanya
kalangan mahasiswa, sehingga pemerintah dapat mengakomodasi kepentingan perusahaan dan
menetapkan kebijakan yang membebani masyarakat.
Penulis : Dian Magfira
Editor : A.Afiyah Nafisah Barokah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar