PATRIARKI DAN KONDISI KRISIS PEREMPUAN
"Ini harus dihentikan !!
Pemerkosaan
Pelecehan
Kekerasan
Pembunuhan
Korbannya adalah Perempuan
Ini bukan salahku
Bukan Salah pakaianku
Ini Salah otakmu
mulut mu & patriarki?
Kutipan di atas menggambarkan luapan emosi perlawanan
terhadap berbagai kekerasan terhadap perempuan. Seperti yang kita ketahui,
dalam berbagai fenomena permasalahan sosial di Indonesia, perempuan selalu
mendapat jatah perlakuan berlebihan dibandingkan dengan laki-laki. Ya, inilah
bentuk representasi ideologi yang bernama patriarki.
Alfian Rokhmansyah (2013) dalam bukunya berjudul Pengantar
Gender dan Femisime, menyatakan “patriarki berasal dari kata patriarkat, yang
berarti struktur yang menempatkan posisi dan peranan laki-laki sebagai penguasa
tunggal, sentral dan segala-galanya.” Patriarki secara umum didefinisikan
sebagai sebuah sistem dimana otoritas kekuasaan dan kewenangan dalam sebuah
tatanan sosial didominasi oleh laki-laki sedangkan perempuan hanya memiliki
sedikit pengaruh.
Jika kita menelisik kehidupan sosial perempuan di Indonesia,
budaya patriarki ini begitu melekat
dalam budaya kehidupan sosial masyarakat. Hal ini dapat ditemukan dalam
berbagai aspek kehidupan seperti, ekonomi, politik, hukum bahkan pendidikan
sekalipun. Akibatnya perempuan masih sering mengalami perlakuan yang tidak senonoh
seperti yang sering kita temukan yaitu pemerkosaan, pelecehan, kekerasan dan
pembunuhan terhadap perempuan. Hal itu juga tak lepas bagaimana pendidikan sejak
dini terhadap perempuan, pada benak mereka telah ditanamkan dogma bahwa urusan
dan kegiatan perempuan tak boleh keluar dari ranah domestik.
Kekerasan terhadap perempuan tidak dapat dipisahkan dengan
budaya patriarki yang masih ada di masyarakat. Budaya patriarki yang memandang
perempuan sebagai objek semata juga dapat mendorong lai-laki melakukan
kekerasan, menganggap perempuan sebagai kaum lemah dan tidak berdaya. Hal ini
Menjadikan budaya partriarki yang susah untuk dihilangkan.
Sebut saja Catcalling
misalnya, tindakan yang tidak jarang ditemui dilakukan oleh laki-laki dengan
menggoda perempuan atau memanggil dengan tendensi seksual, biasanya berupa
siulan ataupun komentar. Hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan pada diri
perempuan.
Dampaknya korban takut untuk berjalan di keramaian, menjadi tidak
percaya diri (parno) saat melihat sekumpulan laki-laki atau bahkan sampai
berbalik arah untuk menghindarinya. Perasaan waswas dengan tindakan diskriminasi yang kemungkinan terjadi jika
keluar rumah seorang diri. Belum lagi perempuan yang keluar malam sendirian
dianggap sebgai perempuan yang tidak baik-baik. Padahal penelitian menunjukkan
kekerasan terhadap perempuan lebih banyak terjadi disiang hari. Dari disinilah
muncul rasa titik lemah perempuan dikarena subordinasi perempuan yang
berlebihan di tengah masyarakat.
Ada ketimpangan relasi sosial antara perempuan dan laki laki,
dimana laki laki merasa memiliki kuasa dan superior
berlebihan atas tubuh dan tindakan perempuan. Perempuan selalu menjadi korban
monster patriarki.
Selain itu perempuan dibatasi dengan lingkup yang sederhana,
peran perempuan hanya boleh berada di ranah bidang domestik. Perempuan sebagai
seorang istri menjadi korban dari laiki-laki dalam menjalani kehidupan rumah
tangga yang tidak setara pun dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Perempuan
tidak lebih sebagai parasit dalam kehidupan rumah tangga. Untuk apa perempuan dididik?
Disekolahkan tinggi tinggi oleh orang tuanya jikalau selepas menikah dia hanya
berpacu pada lingkup domestik saja. Padahal di bidang pendidikan perempuan
mengalami peningkatan akses dan kualitas pendidikan yang setara dengan laki
laki.
Jika merujuk pada sejarah, memang peran perempuan sejak
dahulu lebih dominan pada pekerjaan domestik, sedangkan laki laki yang keluar
rumah mencari pundi pundi uang. Tetapi itu semua akan berbeda jika kita kembali
mengingat sejarah R.A Kartini sang pahlawan perempuan yang berjuang untuk
emansipasi wanita.
RA. Kartini dikenal sebagai wanita yang mempelopori
kesetaraan derajat antara perempuan dan laki laki di Indonesia. Hal ini dimulai
ketika Kartini merasakan banyaknya diskriminasi yang terjadi antara laki laki
dan perempuan pada masa itu, dimana beberapa perempuan sama sekali tidak
diperbolehkan mengenyam pendidikan.
Sekarang? Istri yang tidak menjalankan perintah suami
mendapatkan perlakuan yang tak senonoh seperti KDRT dan kekerasan seksual. Itu
terjadi akibat pengaruh budaya patriarki yang cenderung memiliki keleluasan
untuk melakukan apapun terhadap perempuan. Hal ini juga yang menyebabkan
tingginya angka pelecehan seksual di Indonesia.
Tercatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang
terdiri dari 421.752 kasus bersumber dari data kasus/perkara yang ditangani
Pengadilan Agama, 14.719 kasus yang ditangani lembaga mitra Pengada Layanan
yang tersebar di sepertiga provinsi di Indonesia dan 1.419 kasus dari Unit
Pelayanan dan Rujukan (UPR). Dari 1.419 pengaduan tersebut, 1.277 merupakan
kasus berbasis gender dan tidak berbasis gender 142 kasus.
Tanpa disadar data di atas
menunjukkan bahwa penyebab utamanya adalah pikiran yang patriarkis.
Pertanyaan mendasarnya adalah mengapa perempuan yang selalu menjadi korban?
Pembagian peran gender ini dikatakan memang dibentuk dengan
tujuan melindungi perempuan, agar perempuan tidak susah payah lagi mencari
nafkah dan fokus melayani suaminya saja. Anggapan bahwa dengan keluar dari
wilayah domestik kemudian beralih ke ruang publik malah dianggap sebgai bentuk
eksploitasi terhadap perempuan.
Itulah mengapa perempuan selalu dianggap lemah! Padahal sudah
banyak bentuk perlawanan yang telah dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak
perempuan untuk memperoleh pendidikan dan peluang kerja.
Inilah mengapa para feminisme mendukung keras agar DPR RI
segera mengesahkan RUU penghapusan kekerasan sexual (PKS). Sebab nyatanya
merekalah yang menjadi korban utama. Perempuan harus turun tangan untuk melawan
patriarki, perempuan harus memberikan suaranya, dan aksinya
Penulis : Yasmirati
Mantaapppo ✨
BalasHapus