Jumat, 06 Agustus 2021

Carut-Marut Kebijakan di UINAM: Dimana kesadaran perjuangan mahasiswa?



Mahasiswa sebagai seorang insan tentunya memiliki potensi untuk berpikir dan bertindak dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Paling tidak esensi daripada manusia adalah mereka yang mampu berpikir dan mengaktualisasikan hasil pemikirannya. Merdeka dari segala bentuk perampasan, pembodohan sampai penindasan. 

Mahasiswa sebagai masyarakat intelektual memiliki peran signifikan dalam menempuh pendidikan. Terlebih lagi mereka adalah generasi bangsa yang nantinya melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan (iron stock). Maka sudah sewajibnya mereka dipandang sebagai pelaku utama dalam dunia kampus. Mahasiswa wajib memiliki kesadaran akan realitas yang terjadi di dalam maupun di luar kampus. Hal demikian, menjadi orientasi pendidikan untuk membangun kesadaran mahasiswa dalam melihat realitas sosial. 

Namun, sejak pandemic covid-19 merasuki dunia sampai penghujung Juli tahun 2021, mahasiswa massif menyuarakan aspirasinya di depan kampus tercinta UINAM. Mahasiswa juga merasakan carut-marut sistem pendidikan yang diterapkan kampus. Satu diantaranya adalah UKT/BKT yang dicanangkan pimpinan di tengah situasi pandemic covid-19. Kebijakan yang telah ditetapkan tahun kemarin dan berlangsung sampai sekarang yaitu, pemotong UKT 20% tidak secara general. Padahal dampak dari covid-19 tidak hanya dirasakan oleh sekelompok masyarakat, akan tetapi dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, tidak terlepas bagi mereka yang orang tuanya PNS (pegawai negeri sipil). Itulah salah satu kebijakan yang timpang diterapkan oleh pimpinan kampus UINAM saat ini.

Selain pengurangan UKT 20%, kebijakan rekategorisasi UKT juga menjadi keresahan mahasiswa. Dalam SK (surat keputusan) Rektor Nomor 751 Tahun 2020 Tentang “Peninjauan Penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) Lingkup Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Pada Bab III Pasal (5) Poin C nomor (10) tentang persyaratan, dimana para mahasiswa/i yang ingin rekategorisasi, harus memenuhi syarat berikut: melampirkan foto copy akta kematian (dalam hal ini kematian orang tua), foto copy surat cerai, foto copy PHK (pemutusan hubungan kerja) dari perusahaan.

Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah untuk mendapatkan rekategorisasi, orang tua saya harus meninggal dunia terlebih dahulu? Orang tua saya harus diPHK dan bercerai untuk kemudian bisa melakukan rekategorisasi? Kalau memang kebijakan ini murni untuk membantu mahasiswa, seharusnya tidak memiliki persyaratan yang sulit untuk dipenuhi. Karena menurut saya UKT yang ditetapkan bagi mahasiswa harus sesuai dengan penghasilan orang tuanya. Itu yang harus diselaraskan, bukan malah membuat persyaratan yang sangat membebani mahasiswa. Oleh sebab itu, kebijakan inilah yang mendorong semangat teman-teman untuk terus menekan pimpinan agar mengeluarkan kebijakan baru. Kebijakan yang pro terhadap mahasiswa, bukan kebijakan yang mengakomodir kepentingannya semata.

Di tengah massifnya kebijakan pimpinan yang tidak pro terhadap mahasiswa. lantas dimana peran mahasiswa yang juga merasakan dampak dari kebijakan tersebut. Saya melihat sebuah fenomena, banyak dari mereka yang tahu dan merasakan keresahan atas kebijakan yang diterapkan oleh pimpinan kampus, tetapi  tidak memiliki kesadaran sedikitpun. Bagi saya fenomena ini merupakan masalah besar. Dimanakah kesadaran teman-teman untuk memperjuangkan hak yang telah dirampas oleh mereka yang acuh akan keadilan. Apakah kalian masih diam dengan segala belenggu penindasan yang diwujudkan dalam bentuk kebijakan? Diam bukanlah sebuah solusi, tapi diam adalah sebuah penghianatan yang menjadi orientasi kebijakan, menundukkan mahasiswa tanpa menumbuhkan nalar kritis mahasiswa.


Penulis: Ihsan Nabil Riyadi

Editor: Dian Magfira

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HARI INI GERIMIS

Hari ini tidak ada matahari Dari langit mulai turun gerombolan air  Memandang dari tirai jendela kamarku Mengamatinya… Ah, gerimis! Aku masi...